PSU Pilbup Serang Dihantui Praktik Politik Uang, Lima Terduga Diamankan

292

images 53

Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilbup Serang belum sempat dimulai, namun aroma busuk politik uang sudah lebih dulu tercium. Jumat (18/4), dini hari sebelum coblosan, Tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) bergerak cepat. Lima orang ditangkap di dua lokasi berbeda di Kabupaten Serang karena diduga menyebarkan uang kepada pemilih demi memenangkan salah satu pasangan calon.

Penangkapan pertama terjadi di Jalan Baru Bendung Pamarayan, Kecamatan Cikeusal. Dua orang pria berinisial ND dan MH dibekuk saat membawa uang tunai sebesar Rp9,5 juta. Mereka juga membawa data nominatif berisi nama-nama pemilih yang diduga akan menerima uang masing-masing Rp50 ribu. Menurut keterangan resmi dari Koordinator Penyidik Gakkumdu Banten, Kompol Endang Sugiharto, uang itu disiapkan untuk mendongkrak suara Paslon 01 dalam PSU Kabupaten Serang.

Saat diinterogasi, kedua terduga pelaku mengaku mendapatkan dana tersebut dari seseorang bernama Alex, yang kemudian diketahui memperoleh uang dari Andri. Penelusuran lebih lanjut mengungkap bahwa Alex dan Andri adalah anak kandung dari AZ, anggota DPRD Kabupaten Serang dari Fraksi Golkar. Dugaan kuat pun mengarah pada keterlibatan aktor politik dalam praktik serangan fajar ini.

Belum lama berselang, Gakkumdu kembali bergerak ke titik lain di Perumahan Taman Ciruas Permai (TCP). Tiga orang lainnya berinisial AS, JK, dan PPN ditangkap bersama uang tunai senilai Rp2,7 juta yang juga diduga akan digunakan untuk membeli suara. Total lima orang kini diamankan, dengan barang bukti berupa uang tunai, Kartu Keluarga, dan salinan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menguatkan indikasi adanya distribusi terencana.

Kasatreskrim Polres Serang, AKP Andi Kurniady, menyebut seluruh pelaku diserahkan ke Bawaslu untuk penanganan lebih lanjut. Ia menambahkan bahwa patroli Gakkumdu akan terus ditingkatkan di berbagai titik rawan. “Ini baru permukaan, kami akan terus sisir wilayah untuk menjamin PSU berjalan jujur,” tegasnya.

Temuan ini memperkuat kekhawatiran banyak pihak tentang kualitas demokrasi di tingkat lokal. Bawaslu Provinsi Banten pun angkat suara. Liah Culiah, anggota Bawaslu, menegaskan bahwa praktik politik uang adalah bentuk penghinaan terhadap hak pilih rakyat dan mencoreng proses demokrasi yang seharusnya bersih.

Ia mengajak masyarakat untuk menolak segala bentuk pemberian yang bertujuan memengaruhi suara. “Masyarakat harus sadar, uang Rp50 ribu bukan bantuan, tapi sogokan. Baik pemberi maupun penerima bisa dijerat pidana,” tegasnya. Menurutnya, sosialisasi dan patroli akan terus ditingkatkan, karena pencegahan adalah langkah kunci untuk memutus mata rantai politik uang.

PSU ini sendiri digelar setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil Pilkada Kabupaten Serang 2024 karena pelanggaran yang dinilai signifikan. Dua pasangan calon kembali dipertemukan dalam laga ulang: Andika Hazrumy – Nanang Supriatna dan Ratu Zakiyah – Najib Hamas.

Andika Hazrumy adalah mantan Wakil Gubernur Banten dan putra dari Ratu Atut Chosiyah, tokoh politik yang namanya identik dengan dinasti Banten. Sedangkan Ratu Zakiyah merupakan istri Menteri Desa, Yandri Susanto. Laga ulang ini mempertemukan dua trah besar yang sama-sama memiliki pengaruh kuat—baik di level lokal maupun nasional.

Namun di balik nama besar dan janji kampanye, peristiwa dini hari itu menunjukkan bahwa demokrasi bisa dibajak hanya dengan lembaran uang recehan. Jika benar praktik ini berlangsung terstruktur dan melibatkan jaringan politik, maka pertanyaan terbesar bukan siapa yang menang, tapi bagaimana mereka menang. Apakah dengan suara rakyat, atau dengan amplop?

Gakkumdu, Bawaslu, dan publik kini dihadapkan pada tugas berat: mengawal suara rakyat agar tidak lagi dipermainkan oleh segelintir elite yang menjadikan pemilu sebagai arena transaksional. PSU ini bukan sekadar ulangan, tapi ujian bagi masa depan demokrasi Kabupaten Serang. (Red/*)