SERANG | BIDIKBANTEN.COM – Sebuah video yang menampilkan pernyataan kontroversial Wakil Wali Kota Serang, Nur Agis Aulia, viral di media sosial dan memantik gelombang kritik dari kalangan pers. Dalam cuplikan yang beredar, Agis terlihat memberi wejangan kepada para pemangku kebijakan di lingkungan Pemkot Serang agar tak perlu gentar menghadapi “wartawan bodrek” dan “LSM abal-abal”.
Tak hanya itu, Agis bahkan menyebut akan menggelar bimbingan teknis (Bimtek) bertajuk Tips Menghadapi Wartawan Bodrek khusus bagi para kepala sekolah di Kota Serang. Ia menyarankan agar narasumber, dalam hal ini kepala sekolah, berani menolak wawancara jika wartawan tak mengantongi tiga kartu: Kartu Pers dari perusahaan pers, kartu keanggotaan organisasi konstituen Dewan Pers (seperti PWI, AJI, IJTI), dan kartu Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
“Kalau tidak punya tiga kartu itu, boleh ditolak,” kata Agis melalui pesan instan pada Senin (9/6/2025).
Pernyataan ini langsung disambar kritik dari berbagai pihak. Salah satunya dari Harry Wibowo, Dewan Pakar Forum Pers Independent Indonesia (FPII), yang menilai sikap Wakil Wali Kota itu sebagai bentuk arogansi kekuasaan terhadap kebebasan pers.
“Ini jelas upaya membungkam media. Seolah-olah hanya yang punya kartu versi pemerintah yang boleh bicara. Lantas bagaimana dengan jurnalis lepas atau media alternatif? Mereka ini bagian sah dari demokrasi,” tegas Harry.
Harry menilai istilah “wartawan bodrek” sangat tidak etis diucapkan oleh seorang pejabat publik. Pasalnya, istilah itu merendahkan profesi pers secara keseluruhan dan mengesankan adanya dikotomi antara ‘wartawan baik’ dan ‘wartawan tidak diakui versi pejabat’.
“Pernyataan seperti itu mencederai semangat keterbukaan informasi dan menyalahi Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pers bukan lembaga pemerintah, tidak tunduk pada selera pejabat,” ucapnya.
Lebih lanjut, Harry mengingatkan bahwa tidak semua jurnalis memiliki tiga kartu seperti yang disyaratkan Agis, namun mereka tetap menjalankan fungsi jurnalistik dengan integritas. Banyak media kecil dan independen yang justru menjadi garda terdepan dalam mengungkap berbagai persoalan publik.
“Jangan jadikan Bimtek sebagai alat doktrinasi untuk membungkam kontrol publik. Justru Pemkot Serang harus lebih banyak membuka ruang keterbukaan, bukan menutup rapat kritik dengan dalih ‘wartawan tidak sah’,” tambahnya.
Demokrasi Tidak Butuh Kartu, Tapi Kejujuran dan Akuntabilitas
Kritik ini mengarah pada satu titik krusial: pejabat publik semestinya mengedepankan akuntabilitas dan transparansi, bukan membentengi diri dengan narasi anti-kritik. Pers adalah pilar keempat demokrasi, bukan lawan politik atau ancaman birokrasi.
“Kalau pejabat takut dikritik, maka yang salah bukan wartawannya. Tapi mungkin, ada yang ditutupi,” sindir Harry.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari Nur Agis Aulia soal istilah “wartawan bodrek” yang ia lontarkan dalam forum resmi. (Rds-02)
> Disclaimer: Artikel ini menyampaikan kritik dan opini publik berdasarkan fakta yang tersedia dan pernyataan narasumber. Setiap pihak yang disebut berhak memberikan klarifikasi atau hak jawab sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Redaksi tidak bertanggung jawab atas interpretasi yang berbeda di luar konteks isi pemberitaan.