Presiden Jokowi Diminta Ambil Alih Bisnis Perumahan Jika Tak Ingin Berantakan

795
images (9)
Bidik Banten –  Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) DKI Jakarta periode 2000-2006, Bambang Eryudhawan menilai masalah perumahan merupakan masalah sosial. Dengan demikian, negara tidak bisa lepas tangan dan abai dan harus segera diambil alih.
“Ini perumahan diserahkan ke pasar. Jadinya seperti ini, berantakan,” kata Bambang saat dihubungi media, Rabu (13/9).
Jika pemerintah menyerahkan ke mekanisme pasar, maka harga tanah yang menjadi komponen utama properti tak bisa ditekan.
Pria yang akrab disapa Yudha ini mencontohkan, di luar negeri terutama di negara maju, dengan menggunakan pendekatan sosial housing, seseorang dapat menyewa rumah dalam rentang waktu 20 hingga 30 tahun. Sebab properti tersebut dimiliki negara dan harga sewa dikontrol serta dikendalika pemerintah. Ketentuan itu berlaku khusus ruma subsidi.
Yudha menambahkan, persoalan lain di Indonesia adalah tidak ada kepastian database mengenai siapa yang berhak mendapat subsidi perumahan. Seringkali rumah subsidi itu justru dibeli untuk investasi oleh mereka yang berduit, sehingga orang yang butuh rumah tidak punya rumah tidak kebagian.  
“Soal pertama yang harus dibenahi yaitu politik perumahan jangan lagi di serahkan ke pasar,” tuturnya.
Menurut Bambang, seharusnya negara membeli tanah lalu membuat rumah sewa atau rusunawa, karena beban harga tanah nanti akan ditanggung negara. Alhasil, para penghuni di rusunawa, bisa lebih tenang karena mendapat harga lebih terjangkau.
Sementara untuk rusunami, kata Yudha, diserahkan ke pasar yaitu mereka yang memiliki duit saja yang bisa beli. Mereka juga dibebaskan membeli jumlah rumah seperti rumah kedua, ketiga, dan seterusnya hingga puluhan. Sehingga harga tidak bisa dikendalikan. Ketika properti yang dibeli disewakan kembali, harga juga tidak terkontrol.  
“Akibat kebijakan rumah bermasalah, akhirnya beragam teknologi di properti, seperti rumah kayu menjadi tidak berkembang dengan sendirinya. Kalau semua diserahkan ke pasar, tidak ada kontrol, semua jadi mahal. Padahal perumahan ini menyangkut hajat hidup orang banyak tidak ada pilihan lain negara harus ambil alih,” ujarnya.
Ia juga mengkritik Perumnas, BUMN pemerintah. Yudha menilai Perumnas tidak punya peran karena kini hanya berjualan tanah sementara pembangunan diserahkan ke swasta. Pada akhirnya dari sisi harga, makin mahal, karena swasta jadi penentu harga. Kondisi ini jika dibiarkan maka Perumnas layak dibubarkan.
“Anehnya perumahan diserahkan ke pasar tapi kalau jalan tol infrastruktur masih bisa dikendalikan negara, jasa marga memegang semua. Kan, harga tol yang menentukan pemerintah, kok untuk perumahan pemerintah tidak bisa mengatur,” sindir Yudha. Akibat sikap lemah dan malas pemerintah, sementara pengembang agresif, maka yang menjadi korban mereka yang belum memiliki rumah.  
Di sisi lain, Yudha mengatakan, berbagai teknologi properti seperti rumah kayu dengan sistem knock down, sejatinya bisa diterapkan dan diaplikasikan. Teknologi model seperti itu juga sudah banyak diterapkan di sejumlah proyek properti. 
“Teknologi itu sudah lama diterapkan, model rumah cepat bangun sudah dicoba diaplikasikan lama, tapi di Indonesia persoalannya itu kebijakan properti yang terlalu pro pasar, jika dibenahi, maka semua teknologi properti bisa diterapkan,” ucapnya. 
Yudha menyarankan pemerintah memiliki land bank alias bank tanah. Dengan skema bank tanah, ketersediaan tanah terjamin karena tanah dibeli dengan harga murah, lalu disiapkan skema pengembangan perumahan. Skema bank tanah membuat pemerintah agresif membeli tanah. 
Yudha mengaku heran ketika untuk jalan tol infrastruktur, pemerintah berani membeli tanah bahkan dengan harga tinggi. Sedangkan untuk program perumahan rakyat tidak berani. 
Kalau pun ada, pemerintah hanya membeli di pinggir kota dengan akses yang sulit sehingga properti yang dibangun sulit dipasarkan. “Seringkali kalau untuk program rumah jawaban pemerintah jadi lebay, banyak dalih, ” kata dia. (Asa)