Sejumlah pengungsi tsunami Selat Banten di kawasan perbukitan di sekitar pantai Carita, Pandeglang, Banten, mengaku masih kekurangan selimut. Mereka juga kekurangan tikar untuk alas tidur. “Paling selimut dan tikar,” kata pengungsi bernama Irah, 55 tahun asal Kampung Sangiang, Sukarame, Carita, Pandeglang, Banten ditemui di lokasi pengungsian, Sabtu, 29 Desember 2018.
Irah mengungsi di kawasan perbukitan di Kampung Karawang, Sukarame, Carita, Banten, setelah kampungnya di Sangiang terdampak tsunami Selat Sunda. Ketua RT 17 Kampung Sangiang, Hamdanu mengatakan ada 200 kepala keluarga yang mengungsi di kawasan tersebut.
Tsunami Selat Sunda menerjang pesisir Banten dan Lampung Selatan pada Sabtu, 22 Desember 2018. Gelombang besar itu meluluhlantakan kawasan bibir pantai dengan total panjang 312 kilometer. Terjangan tsunami tersebut juga menyebabkan 413 orang tewas, 7.200 luka-luka dan puluhan ribu orang mengungsi.
Irah adalah salah satu penduduk pesisir Banten yang beruntung karena rumahnya tidak hancur. Namun, karena khawatir terjadi tsunami susulan, dia memilih mengungsi ke perbukitan.
Pengungsi lainnya Simah (44) juga mengaku masih kekurangan selimut dan tikar. Dia mengatakan selimut dan tikar dibutuhkan untuk pengungsi karena kondisi pengungsian yang menggunakan tenda dan hanya beralaskan terpal. Sementara untuk kebutuhan lain, seperti sembako dan obat-obatan, dia mengatakan sudah cukup. “Kalau sembako alhamdulillah cukup,” katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Pandeglang, Banten, telah mengungsikan masyarakat yang berada di pesisir Selat Sunda ke daerah tinggi. Instruksi tersebut berkaitan dengan peningkatan status waspada Gunung Anak Krakatau. “Masyarakat sudah kami ungsikan ke bukit-bukit, pegunungan, karena BMKG telah menaikkan status Gunung Anak Krakatau,” ujar Bupati Pandeglang Irna Narulita saat ditemui di kantornya, Jumat, 28 Desember 2018. (Tompi/bb)