Cilegon – Investasi jumbo senilai Rp15 triliun dari PT Chandra Asli Alkali (CAA) di Kota Cilegon mendadak jadi sorotan nasional. Bukan karena kemajuan pembangunan pabrik Chlor Alkali-Ethylene Dichloride (CA-EDC), tapi karena muncul dugaan ada “jatah 5 triliun” yang diminta oleh oknum pengusaha lokal — tanpa melalui proses lelang resmi.
Isu ini pertama kali mencuat dari akun X (Twitter) @NenkMonica, yang menyebut bahwa pengusaha lokal terindikasi meminta jatah proyek secara langsung kepada investor asing, tanpa ada dasar keterbukaan atau kualifikasi yang jelas.
“Pengusaha lokal diduga meminta jatah 5 Triliun tanpa lelang dari investor asing PT CAA,” tulis akun tersebut.
Dalam sekejap, linimasa X langsung meledak. Warganet merespons dengan kritik pedas hingga satire tajam — dari gaya “preman ekonomi” sampai tudingan sistem kolusi berjubah lokalitas.
Netizen Bersuara: “Bangunlah Usaha, Bukan Memalak Proyek”
Warganet @gitomo77 menulis tegas:
“Bayangin, proyek 15T, dipalak 5T. Ini mah bukan bisnis lokal, tapi lokal bisnis ala mafia!”
Sementara @PerhatikanKota menyuarakan keresahan yang lebih dalam:
“Negara ini punya bonus demografi, tapi kita cuma dijadikan pasar, bukan produsen. Kalau begini terus, rakyat cuma bisa beli, nggak bisa produksi.”
Ada pula @fadli1195 yang mengingatkan soal prinsip dasar dunia usaha:”
Wajar dong investor minta pengusaha yang qualified. Bahkan proyek pemerintah aja perlu kualifikasi. Ini Kadin gaya preman nuntut proyek? Mana profesionalismenya?”
Citra Dunia Usaha Dipertaruhkan
Akun @tijabar bahkan menyentil keras: “Cilegon bukan Jabar lagi. Tapi gaya pejabat dan pengusahanya mirip ormas. Jangan heran investor kabur!”
Di saat Indonesia sedang promosi sebagai negara tujuan investasi, munculnya isu seperti ini justru bisa merusak citra dan kepercayaan. Apalagi jika pelaku lokal lebih sibuk ‘minta jatah’ daripada menunjukkan portofolio dan kinerja.
Jangan Sampai Rakyat Cuma Jadi Penonton
Kasus ini mengingatkan pada banyak proyek raksasa lain di Indonesia, termasuk kisah perlawanan warga Kampung Enkle, Sukawali, terhadap proyek PIK 2. Bedanya, di satu sisi rakyat berjuang agar tidak tergusur tanpa kompensasi adil. Di sisi lain, segelintir orang justru mencari peluang di balik celah proyek.S
Spanduk di kampung itu menyindir keras:
“Aparat seharusnya berpihak kepada rakyat, bukan jadi pengkhianat.”
Sebuah pesan yang sebetulnya bisa juga ditujukan kepada oknum pengusaha dan pejabat yang lupa diri saat berhadapan dengan pundi-pundi investasi.
Harapan Publik: Transparansi dan Kualifikasi!
Warganet pada akhirnya hanya menuntut dua hal:
transparansi dan kualifikasi.
Jika pengusaha lokal memang mumpuni, tunjukkan! Ajukan proposal, ikuti prosedur, dan bersaing secara sehat. Karena kalau semuanya pakai “jalur cepat”, yang dirugikan bukan cuma investor, tapi juga rakyat Indonesia.