Sheikh Asnawi Caringin: Ulama Karismatik, Pejuang Gigih dari Tanah Banten

647
Sheikh Asnawi Caringin – Ulama dan Pejuang Banten
Sheikh Asnawi Caringin, ulama kharismatik dari Labuan, Banten

CILEGON | BIDIKBANTEN.COM – Di balik kemegahan sejarah Banten sebagai tanah para ulama dan jawara, nama Sheikh Asnawi Caringin menempati tempat istimewa. Bernama kecil Tubagus Muhammad Asnawi, ia lahir pada tahun 1850 M di Kampung Caringin, Labuan, Banten, dari keluarga terpandang yang dikenal taat dan berilmu agama.

Ayahnya, Sheikh Abdurrahman bin Sheikh Afifuddin, dan ibunya, Ratu Sabiah (atau Rabiah), diyakini memiliki garis keturunan mulia hingga ke Sultan Banten dan Sultan Agung Mataram. Sejak dini, darah dakwah dan semangat keislaman telah mengalir dalam dirinya.

Pada usia sembilan tahun, Sheikh Asnawi muda dikirim menimba ilmu ke Makkah al-Mukarramah, pusat peradaban Islam dunia. Di sana, ia berguru langsung kepada ulama besar asal Banten yang telah mendunia, Sheikh Nawawi al-Bantani, yang kala itu menjadi salah satu pengajar di Masjidil Haram. Kecerdasannya membuatnya dekat dengan sang guru dan menjadi salah satu murid yang paling diperhitungkan.

Setelah bertahun-tahun menyerap ilmu di tanah suci, Sheikh Asnawi pulang ke tanah kelahirannya dan mulai berdakwah. Kepiawaiannya menyampaikan ajaran Islam membuat banyak pemuda tergerak untuk menjadi muridnya. Namanya pun melambung sebagai ulama besar Banten, disegani karena keilmuannya dan dihormati karena keteguhannya.

Namun perjuangan Sheikh Asnawi tidak berhenti di bidang dakwah. Ia juga tampil sebagai sosok pejuang tangguh dalam melawan penjajahan Belanda. Ia menggerakkan para jawara dan pemuda Banten untuk bangkit melawan kolonialisme. Gerakannya yang massif membuat Belanda geram—hingga akhirnya ia ditangkap, dipenjara di Tanah Abang, Jakarta, dan diasingkan ke Tiongkok.

Meski diasingkan jauh dari tanah kelahiran, semangat dakwahnya tidak pernah padam. Di negeri asing pun, ia tetap menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat sekitar.

Setelah bebas pada tahun 1931, Sheikh Asnawi kembali ke Caringin dan membangun ulang pesantrennya. Ia juga mendirikan Masjid Agung As-Salafi (Salafiyah), sebuah masjid megah dengan arsitektur unik yang memadukan unsur lokal dan luar. Konon, kayu utama masjid itu ia bawa dari Kalimantan lewat cara yang dianggap karomah—di mana kayu tersebut tidak bisa ditebang sebelum ia berdoa.

Sheikh Asnawi wafat pada tahun 1937 dan dimakamkan tidak jauh dari masjid yang ia bangun. Hingga kini, makamnya ramai dikunjungi peziarah, dan masjid yang ia wariskan tetap berdiri megah, bahkan tetap tegak saat tsunami melanda wilayah pesisir Banten pada tahun 2018.

Ia meninggalkan 23 putra dan putri, dan hingga hari ini, keturunannya masih meneruskan perjuangan dan dakwahnya. Masyarakat Banten mengenang beliau bukan hanya sebagai ulama besar, tapi juga sebagai pejuang kemerdekaan, wali yang memiliki karomah, dan penjaga nilai Islam Nusantara yang luhur. (Rds)