
CILEGON – Walikota Cilegon, Robinsar, kembali mencuri perhatian dengan janji-janji untuk petani. Dalam pernyataannya baru-baru ini, ia mengaku telah menyiapkan bantuan alat pertanian berupa mesin kombin dan power tracer, lengkap dengan akses pinjaman lunak dari Bank BPRS Kota Cilegon. Janji ini disebut-sebut sebagai bentuk dukungan terhadap program Presiden Prabowo dalam mendorong ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Tapi, seperti biasa, publik tak langsung bersorak—karena yang ditunggu bukan sekadar kata, tapi realisasi nyata di lapangan.
“Kami siap mendukung program Bapak Presiden Prabowo. Petani Cilegon harus jadi prioritas dalam masa perubahan ini,” ujar Robinsar dengan penuh keyakinan.
Sayangnya, meski niatnya terdengar mulia, belum ada penjelasan rinci soal kapan alat-alat tersebut akan disalurkan, berapa unit yang disediakan, siapa penerimanya, dan bagaimana mekanisme distribusinya. Tanpa detail teknis dan jadwal implementasi, program ini rawan menjadi sekadar catatan indah dalam pidato seremonial.
Alat seperti kombin dan power tracer memang terdengar canggih. Tapi para petani kecil di Cilegon justru kebingungan: lahan mereka tak luas-luas amat, pelatihan tak pernah ada, dan biaya perawatan alat besar bisa bikin kantong kempes. “Alat bagus sih, tapi kalau cuma dipajang atau bingung cara makenya, ya percuma juga,” celetuk salah satu petani di wilayah Cibeber.
Tak hanya soal alat, Robinsar juga menjanjikan dukungan lewat pinjaman lunak dari Bank BPRS. Konsepnya, petani bisa mendapatkan modal usaha dengan bunga ringan agar produksi meningkat dan hasil panen bisa dijual lebih kompetitif. Tapi sampai sekarang, mekanisme pinjaman tersebut masih gelap. Apakah butuh jaminan? Berapa besar bunganya? Siapa yang menentukan layak atau tidaknya pemohon? Petani kecil yang tak punya akses dokumen formal bisa-bisa malah kembali tersingkir.
Kekhawatiran juga muncul dari kalangan aktivis dan LSM. Menurut mereka, tanpa pengawasan ketat, program ini bisa jadi bancakan elit lokal. “Kita dukung programnya, tapi jangan sampai alat-alat ini cuma muter di kelompok tertentu. Harus terbuka, transparan, dan diawasi,” tegas seorang aktifis..
Lebih dari sekadar alat dan pinjaman, problem petani Cilegon jauh lebih kompleks. Harga jual yang rendah, dominasi tengkulak, minimnya akses ke pasar digital, hingga kurangnya dukungan pascapanen masih menjadi momok. Tapi sayangnya, dimensi ini tak tampak disentuh oleh program Pemkot. Tanpa solusi menyeluruh, modernisasi pertanian hanya jadi tempelan kosmetik di atas luka lama yang belum diobati.
Robinsar mungkin punya niat baik. Tapi masyarakat menanti, apakah niat itu bisa diubah menjadi kerja konkret. Sebab rakyat, apalagi petani, tak hidup dari janji. Mereka butuh bukti. Kalau janji-janji ini tak segera diwujudkan, bisa jadi mereka akan menganggapnya sebagai gimik politik belaka. Dan kalau sudah begitu, bukan cuma kepercayaan yang runtuh, tapi juga mimpi perubahan itu sendiri.
(*/hen)