Sahruji Desak BPN Cilegon Bongkar Dugaan Salah Floating Lahan PT CSU, Dr. Fauji Klaim Tanahnya Diserobot

65

 

IMG 20250812 WA0068

CILEGON I BIDIK BANTEN – Ketua Yayasan Bhakti Bela Negara Kota Cilegon, Haji Sahruji, mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk meninjau ulang batas-batas tanah milik PT Cita Sarana Usada (CSU) yang diduga salah floating dan menyeret lahan warga ke dalam sertifikat perusahaan. Desakan ini disampaikan langsung kepada media pada Selasa (12/8/2025) sore.

“BPN harus meninjau ulang batas tanah ini karena hak masyarakat harus mendapatkan pelayanan terbaik dari pemerintah. Kalau ada kesalahan data, harus ada respons cepat. Jangan sampai ada unsur kesengajaan yang masuk kategori penyerobotan atau merugikan hak orang lain,” tegas Sahruji.

Ia menekankan, proses penentuan batas tanah yang melibatkan lahan warga dan perusahaan wajib dilakukan secara terbuka dan menghadirkan semua pihak terkait. “Antara pihak kelurahan, perusahaan, dan pemilik tanah berbatasan langsung harus duduk bersama. Kalau ini salah floating, segera selesaikan supaya kepemilikan jelas,” katanya.

Sahruji juga mengingatkan, sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021, setiap pemegang SHGB wajib memanfaatkan lahannya sesuai peruntukan. “Kalau tidak ada kegiatan sesuai peruntukan, pemerintah bisa memberi peringatan sampai tiga kali. Kalau tetap tidak dijalankan, haknya bisa ditinjau kembali bahkan dicabut,” ujarnya.

Kasus ini bermula dari keluhan Dr. Haji Fauji, warga Link Curug RT 04/03 Kelurahan Rawa Arum, Kecamatan Grogol, yang mengaku lahan miliknya seluas 979 meter persegi masuk dalam peta bidang PT CSU. Lahan tersebut dibeli melalui Akta Jual Beli Nomor 91/2011 dan tidak pernah dialihkan.

“Kalau dilihat dari sertifikat CSU, justru tanah saya menjadi batas tanah mereka. Logikanya, masa batas tanah malah di-floating menjadi bagian dari tanah perusahaan? Ini sah secara hukum dan tidak pernah saya jual kepada pihak manapun,” kata Fauji.

Ia menambahkan, keberadaan PP Nomor 20 Tahun 2021 seharusnya menjadi dasar kuat untuk memeriksa kembali status lahan-lahan HGU yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya. “Kalau pemerintah tegas, kasus seperti ini bisa dicegah sejak awal,” ujarnya.

Sahruji menegaskan, penyelesaian kasus ini akan menjadi ujian komitmen BPN dalam melindungi hak masyarakat dan membersihkan nama institusi dari dugaan praktik mafia tanah. “Kalau dibiarkan, ini bisa jadi preseden buruk dan memicu konflik di masyarakat,” pungkasnya.

(Rds-03)