Krakatau Steel Ekspansi ke Vietnam, Tapi Benarkah Ini Kebangkitan atau Sekadar Gimmick?

607

Kritik ekspansi Krakatau Steel ke Vietnam

Di tengah gegap gempita penandatanganan kerja sama Krakatau Steel dengan Vietnam Steel Corporation di ajang ISSEI 2025, sejumlah pengamat mulai mempertanyakan: apakah ekspansi ini benar-benar mencerminkan kebangkitan industri baja nasional, atau justru sekadar pencitraan di tengah tekanan global?

Krakatau Steel menyepakati ekspor 120.000 ton Hot Rolled Coil (HRC) ke Vietnam selama setahun ke depan. Produk ini adalah baja setengah jadi, bukan produk olahan bernilai tambah tinggi. Hal ini menimbulkan kritik tajam dari sejumlah pihak, yang menilai langkah tersebut masih belum selaras dengan semangat hilirisasi industri yang digaungkan pemerintah.

“Kalau kita terus mengekspor HRC, di mana nilai tambahnya? Ini bisa jadi kita hanya memindahkan pabrik ke luar negeri tanpa menumbuhkan industri dalam negeri secara utuh,” ujar seorang analis industri baja yang enggan disebutkan namanya.

Direktur Utama Krakatau Steel, Muhamad Akbar Djohan, sebelumnya menyatakan bahwa pengiriman HRC ini merupakan bukti kebangkitan Pabrik Hot Strip Mill 1 di Cilegon. Namun, tidak ada penjelasan mendalam terkait kapasitas produksi terkini, utilisasi pabrik, atau dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja. Sejumlah kalangan pun menilai, pernyataan tersebut masih belum menjawab kekhawatiran publik soal transparansi dan efektivitas pemulihan Krakatau Steel.

Kritik lain juga mengarah pada komitmen TKDN yang dibawa dalam kerja sama ini. Meski disebut akan menjajaki pertukaran material dan harmonisasi spesifikasi produk baja antarnegara ASEAN, tidak ada rincian target atau mekanisme nyata untuk memperkuat komponen lokal dan industri pendukung dalam negeri.

“Slogan TKDN itu penting, tapi jangan hanya berhenti di spanduk dan press release. Harus ada roadmap, target angka, dan audit implementasi,” ungkap aktivis industri lokal.

Bahkan pembentukan ASEAN Iron & Steel Council—yang melibatkan enam negara ASEAN dalam MoU di ISSEI 2025—tak lepas dari sorotan. Kerja sama regional ini memang terdengar menjanjikan, namun sejarah menunjukkan bahwa sinergi industri lintas negara kerap kandas oleh kepentingan domestik, terutama dalam soal tarif dan regulasi teknis.

Antara Mimpi Regional dan Realitas Domestik

Langkah ekspansi Krakatau Steel memang layak diapresiasi sebagai upaya menjawab tekanan global dan membuka pasar baru. Namun tanpa penguatan produk hilir, industrialisasi hulu yang kokoh, serta implementasi TKDN yang konkret, ekspansi ini dikhawatirkan hanya akan menjadi etalase kosong tanpa fondasi.

“Dari Cilegon ke Vietnam, Krakatau Steel memang sedang bergerak. Tapi arah geraknya—menuju kepemimpinan regional atau sekadar jualan produk setengah jadi—masih butuh pembuktian,” ujar seorang pengamat ekonomi ASEAN. (*/red)