CILEGON | BIDIKBANTEN.COM – Aroma tak sedap kembali tercium dari dunia pendidikan tanah air. Sejumlah wali murid di Cilegon mengeluhkan adanya pungutan di sekolah negeri, termasuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN), yang sejatinya dibiayai penuh oleh negara. Ironisnya, praktik ini malah terjadi di saat pemerintah gembar-gembor soal pendidikan gratis.
“Anehnya, sekolah negeri kok malah minta duit? Katanya gratis, tapi tiap tahun ajaran baru dimintai biaya ini-itu. Kalau gak bayar, anak kita diperlakukan beda,” keluh salah satu wali murid MAN di Cilegon yang meminta namanya disamarkan.
Aturan Sudah Jelas: Dilarang Pungut Biaya!
Sesuai Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 16 Tahun 2020 tentang Komite Madrasah, dijelaskan secara gamblang bahwa madrasah negeri tidak diperkenankan melakukan pungutan dalam bentuk apapun kepada peserta didik. Komite Madrasah hanya boleh menerima sumbangan yang sifatnya sukarela, tidak mengikat, dan tidak memaksa.
Lebih lanjut, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 juga melarang keras pihak sekolah maupun komite menjual buku, bahan ajar, seragam, atau perlengkapan lain kepada siswa. Semua aktivitas itu dianggap menyalahi fungsi utama pendidikan sebagai pelayanan publik.
“MAN dan sekolah negeri lainnya itu sudah dapat kucuran dana BOS dari APBN. Jadi gak ada alasan minta duit tambahan ke siswa. Kalau masih nekat, itu namanya pungli!” tegas pegiat pendidikan LSM Gappura Banten, Husen Saidan, saat dihubungi wartawan.
Dalih Sumbangan yang Mengikat = Modus Lama
Banyak sekolah berdalih pungutan itu adalah sumbangan sukarela. Tapi anehnya, sudah ditentukan nominal, jangka waktu pembayaran, dan ancaman halus bagi yang tak setor. Kalau begitu, sumbangan macam apa itu?
Dalam praktiknya, sumbangan yang dipatok dengan angka tertentu dan diwajibkan kepada semua murid bukan lagi sumbangan, melainkan pungutan berkedok legalitas. Ini jelas melanggar aturan dan dapat dikenai sanksi.
Ancaman Hukumnya Gak Main-Main!
Pungutan liar di institusi pendidikan bisa dijerat dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 12 e, disebutkan bahwa pejabat yang memaksa seseorang memberi sesuatu bisa dihukum minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Belum lagi sanksi administratif dari Inspektorat Kemenag atau Kemendikbudristek, yang bisa mencopot kepala sekolah, bendahara, atau ketua komite dari jabatannya.
Suara Masyarakat: Kami Butuh Sekolah, Bukan Mesin Uang!
Kondisi ekonomi yang masih sulit pasca-pandemi seharusnya jadi pertimbangan utama bagi sekolah dalam membuat kebijakan. Alih-alih membebani orang tua, pihak sekolah negeri wajibnya mengoptimalkan dana BOS dan mencari bantuan sah lainnya tanpa menekan siswa.
“Yang kami mau cuma satu: anak-anak kami sekolah dengan tenang, gak pakai tekanan bayar ini-itu. Jangan bikin orang tua susah,” kata Bu Rini, ibu rumah tangga yang anaknya baru diterima di salah satu MAN di Cilegon. (*/red)