CILEGON | BIDIKBANTEN.COM – Ironi di Kota Baja makin terasa. Di tengah ratusan perusahaan industri raksasa berdiri megah, rakyat Cilegon justru makin terhimpit. Angka pengangguran terus merangkak naik, daya beli merosot, dan defisit anggaran daerah jadi beban baru. Tapi di sisi lain, tunjangan pejabat malah melesat naik: tunjangan perumahan, tunjangan transportasi, bahkan fasilitas tambahan lain yang bikin warga geleng kepala.
“Ini jelas tidak adil. Kami nganggur, anak sekolah susah bayar SPP, tapi pejabat malah hidup mewah pakai duit rakyat. Tunjangan perumahan dan transportasi harus dicabut!” kata Dedi, salah satu warga Kecamatan Grogol, Jumat (5/9/2025).
Gelombang penolakan makin kencang setelah aliansi mahasiswa Cilegon ikut bersuara. Mereka menuntut agar DPRD Kota Cilegon segera membatalkan kenaikan tunjangan. Mahasiswa menegaskan, di saat kota mengalami defisit anggaran, langkah menaikkan fasilitas pejabat sama saja meludahi penderitaan rakyat.
“Kalau pemerintah daerah serius mau bangun Cilegon, stop dulu gaya hidup boros pejabat. Lebih baik anggaran dipakai buat program lapangan kerja atau jaminan sosial, bukan buat perumahan dan mobil pejabat,” teriak salah satu orator aksi.
Desakan publik makin keras setelah pemerintah pusat lebih dulu menurunkan tunjangan pejabatnya sebagai langkah penghematan. Pertanyaan pun muncul: kapan Kota Cilegon mau menyesuaikan diri? Hingga kini, Wali Kota Robinsar belum merevisi Surat Keputusan (SK) soal kenaikan tunjangan pejabat. Padahal, kondisi APBD Kota Cilegon sedang defisit, dan kebijakan ini dinilai jauh dari rasa keadilan sosial.
Suara-suara ini sejalan dengan tuntutan besar di tingkat nasional. Gelombang 17+8 Tuntutan Rakyat yang viral di media sosial sejak akhir Agustus, salah satunya menyoroti pembekuan kenaikan gaji dan tunjangan DPR. Desakan itu kini bergema sampai ke Kota Cilegon: rakyat butuh bukti, bukan sekadar janji.
Sementara itu, keresahan masyarakat terus membengkak. Ironinya, meski Cilegon dikenal sebagai kota industri, ribuan warga masih terjebak dalam pengangguran dan kemiskinan. “Kami yang tinggal di sekitar pabrik cuma jadi penonton. Anak-anak muda nganggur, yang kerja pun banyak kontrak tanpa kepastian. Kok tega pejabat malah nambah tunjangan?” tutur Umi, ibu rumah tangga asal Citangkil.
Kini, bola panas ada di tangan DPRD dan Pemkot Cilegon. Publik menuntut keberanian mereka: apakah berpihak pada kenyang pejabat atau perut rakyat?
(Rds-03)


































