Pemkot Cilegon Ambil Alih Masjid Agung Nurul Ikhlas, Warga Soroti Potensi Politisasi dan Kurban yang ‘Seadanya’

580

Wali Kota Robinsar saat Salat Idul Adha di Masjid Nurul Ikhlas Cilegon, disorot warga soal pengambilalihan masjid

CILEGON | BIDIKBANTEN.COM – Warga Kota Cilegon memadati Masjid Agung Nurul Ikhlas, Jumat (6/6/2025) pagi, untuk menunaikan Salat Idul Adha 1446 Hijriah. Wali Kota Cilegon, Robinsar, turut hadir bersama Sekda Maman Mauludin, menyampaikan pesan-pesan religius yang dibungkus nuansa kesalehan spiritual.

Namun di balik khusyuknya ibadah dan gegap gempita kurban, ada keputusan mengejutkan yang bikin sebagian masyarakat mengernyitkan dahi: Pemerintah Kota Cilegon resmi mengambil alih pengelolaan Masjid Agung Nurul Ikhlas dan Islamic Centre.

Dalam pidatonya, Robinsar mengklaim langkah ini sebagai bentuk komitmen Pemkot untuk memakmurkan masjid dan menjadikannya pusat syiar Islam yang akuntabel dan transparan. Bahkan disebut-sebut bakal dibentuk kepengurusan DKM baru yang “bersih dan terbuka”.

Namun, masyarakat tak serta-merta menelan mentah-mentah wacana tersebut. Sejumlah warga menyayangkan keputusan yang dinilai terkesan terburu-buru dan berpotensi membuka celah politisasi rumah ibadah.

“Kita butuh masjid yang netral, bukan jadi ajang bagi elite untuk unjuk kekuasaan. Harusnya pengelolaan tetap dilakukan oleh para tokoh agama dan masyarakat, bukan diambil alih begitu saja,” kritik Ustadz A Halimi warga masyarakat asal Jombang.

Kekhawatiran makin menjadi setelah beredar kabar bahwa proses pengambilalihan tidak melalui musyawarah yang melibatkan seluruh elemen umat. Bahkan beberapa jemaah mengaku baru tahu dari sambutan Wali Kota saat salat Ied.

“Kita ini datang buat ibadah, bukan buat dengar pengumuman struktural. Kalau Pemkot mau kelola, mestinya ada forum resmi, bukan diumumkan sepihak,” ujar Nurjanah, warga Pabean, yang mengaku kecewa.

Di sisi lain, beberapa warga menanggapi dengan harapan, meski tetap menaruh rasa was-was.

“Kalau benar niatnya memakmurkan masjid dan dana umat dikelola transparan, ya kita dukung. Tapi jangan cuma janji manis waktu Idul Adha doang,” ucap Ahmad Rizal, jemaah asal Citangkil.

Kritik juga mengarah pada jumlah hewan kurban yang disumbangkan, yang dinilai kurang sebanding dengan jumlah penduduk Cilegon yang mencapai ratusan ribu jiwa. Hanya 18 ekor hewan kurban yang tercatat, mayoritas berasal dari instansi pemerintah dan BUMD. Masyarakat mempertanyakan: ke mana kontribusi para pengusaha besar dan industri raksasa Cilegon?

“Cilegon ini kota industri, masa cuma segitu sumbangan kurbannya? Mana CSR-nya? Jangan-jangan baru muncul pas ada pencitraan,” sindir Fadli, aktivis muda dari LSM Mata Kritis.

Terlepas dari pro-kontra pengambilalihan masjid, khutbah Idul Adha yang disampaikan Abdullah Syarif berhasil menggugah hati para jemaah. Ia menekankan bahwa Idul Adha bukan hanya seremoni, melainkan momentum penyucian jiwa, penguatan iman, dan semangat berbagi terhadap sesama.

“Jangan sampai makna kurban tercoreng oleh ego kekuasaan dan ambisi struktural. Masjid itu rumah Allah, bukan kantor cabang birokrasi,” tutupnya, dengan suara lantang.

Idul Adha tahun ini memberi pelajaran penting: bahwa pengelolaan rumah ibadah harus dijaga dari tarikan kepentingan politik, dan semangat kurban harus dibarengi kepekaan sosial, bukan sekadar seremoni simbolik. (*/Rds-02)