Tanah Warga Cilegon Masuk Sertifikat Perusahaan Besar, BPN Diminta Bongkar Dugaan Mafia Tanah

84

Black and Red Modern News Instagram Post 20250811 143230 0000

CILEGON | BIDIKBANTEN.COM – PP Nomor 20 Tahun 2021 sebenarnya punya semangat mulia: menertibkan para pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) agar taat membayar kewajiban, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Tapi di lapangan, yang terlihat justru paradoks. Korporasi besar memegang ratusan hektare tanah, mangkrak bertahun-tahun, PBB macet, tapi tetap aman sentosa. Sementara rakyat kecil, telat sehari bayar PBB, langsung kena surat tagihan.

Isu ini mulai dibongkar Kementerian ATR/BPN di tingkat nasional, beberapa media nasional sudah mengangkat. Tapi di daerah seperti Cilegon, gaungnya nyaris tak terdengar. Seolah semua pihak kompak memalingkan muka.

Contoh nyata datang dari Kota Cilegon. Abdul Fatah, warga Kelurahan Gerem, dan Dr. Haji Fauji, warga Kelurahan Rawa Arum, mengaku kaget ketika mengetahui tanah mereka tiba-tiba masuk dalam plot sertifikat milik PT Citra Sarana Usada (CSU). Berdasarkan dokumen resmi yang mereka kirim ke BPN Kota Cilegon pada 31 Juli 2025, Abdul Fatah memegang akta jual beli No. 08/2013 untuk lahan seluas 1.749 m² di Persil No. 09, Blok Bujang Gadung II, Kohir SPPT 002-0002.0, dengan batas-batas jelas sesuai akta. Haji Fauji memegang akta jual beli No. 29/2011 untuk lahan 979 m² di persil yang sama, juga dengan batas-batas jelas.

IMG 20250811 WA0043

Keduanya menegaskan tanah tersebut tidak pernah dijual kepada pihak manapun. Riwayat tanah dari penjual sebelumnya pun menguatkan klaim itu. Namun dari informasi yang mereka terima, lahan tersebut kini masuk ke dalam plot sertifikat milik PT CSU. Dalam suratnya, Abdul Fatah dan Haji Fauji meminta BPN Kota Cilegon untuk memfasilitasi mediasi dengan pihak PT CSU sekaligus melakukan peninjauan ulang agar tanah mereka dikeluarkan dari peta bidang PT CSU. “Kalau tanah rakyat bisa tiba-tiba masuk ke sertifikat perusahaan, itu bukan cuma sengketa, tapi alarm bahaya. Hari ini tanah kami, besok bisa tanah siapa saja,” ujar Abdul Fatah.

Haji Rebudin, tokoh masyarakat Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, menegaskan persoalan ini bukan hanya masalah dua orang. “Kalau ini dibiarkan, rakyat cuma jadi korban permainan sertifikat. BPN harus bersih-bersih. Kalau perlu bongkar sampai ke akar. Jangan kasih ruang mafia tanah untuk pesta di atas penderitaan warga,” tegasnya. Ia juga menyoroti pemegang HGB ratusan hektare yang membiarkan lahannya mangkrak tanpa membayar PBB. “Rakyat kecil bayar pajak tiap tahun, telat sedikit kena denda. Kenapa perusahaan besar bisa bebas seenaknya? Ini jelas melukai rasa keadilan,” ujarnya.

Masalah ini makin rawan jika dikaitkan dengan proyek-proyek pemerintah seperti Jalur Lingkar Utara (JLU) yang terancam menguras APBD karena melewati lahan yang diduga milik pemegang HGB tidur. Rakyat hanya dihargai murah ketika lahannya diambil, sementara pemerintah justru harus membayar mahal ketika lahan itu dipakai untuk kepentingan publik. Kasus Abdul Fatah dan Haji Fauji hanyalah satu potret kecil. Jika aparat tutup mata, istilah ‘mafia tanah’ bukan lagi tuduhan, tapi kenyataan. Masyarakat mendesak BPN dan Pemkot Cilegon untuk bergerak cepat, memanggil semua pihak, memeriksa peta bidang, dan memastikan hak rakyat tidak diakali lewat sertifikat siluman.