CILEGON | BIDIKBANTEN.COM – Rencana relokasi besar-besaran terhadap pedagang emperan yang biasa berjualan di bahu jalan kawasan Pasar Kranggot dan jalur protokol Kota Cilegon menuai protes keras dari para pelaku usaha kecil. Mereka menilai kebijakan ini tidak manusiawi, minim solusi, dan hanya mengejar setoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memikirkan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat kecil.
Alih-alih disambut gembira, relokasi justru dianggap ancaman nyata bagi kelangsungan hidup ribuan pedagang.
“Jualan di sini bukan karena kami senang panas-panasan dan hidup di tengah debu, tapi karena memang di sinilah pembeli datang. Kalau dipindah ke tempat yang sepi, terus siapa yang beli dagangan kami?” ujar Fitri (38), pedagang kue basah yang sudah 12 tahun mangkal di Pasar Kranggot.
Pemerintah berjanji akan merelokasi mereka ke tempat yang “lebih layak”, namun kenyataan di lapangan masih abu-abu. Bahkan lokasi yang disebutkan, yaitu di belakang Air Mancur Adib dan sekitar alun-alun, justru dianggap kurang strategis.
“Kalau tempatnya beneran rame, kami pasti pindah. Tapi ini kami takut dijebak—disuruh pindah ke tempat yang ujung-ujungnya cuma didatengin angin doang,” ungkap Jamal (50), penjual ikan segar yang khawatir dagangannya tak laku jika jauh dari arus kendaraan.
Suara keluhan serupa juga datang dari pedagang makanan dan pakaian. Mereka menuding pemerintah tidak pernah melibatkan mereka dalam diskusi atau survei lokasi sebelum menggulirkan kebijakan relokasi.
“Sosialisasi ke mana? Kami taunya dari media. Nggak ada yang datang duduk bareng tanya pendapat. Ini bukan relokasi, ini pengusiran halus,” kata Nia (45), pedagang pakaian yang berjualan dekat trotoar Kranggot.
Sementara itu, pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disprindag) mengklaim relokasi justru akan berdampak positif terhadap PAD Kota Cilegon.
“Selama ini kan mereka jualan di tempat yang tidak resmi, jadi tidak dipungut. Nanti setelah direlokasi ke tempat yang disediakan pemerintah, otomatis kita bisa tarik retribusi dan itu masuk PAD,” ujar salah satu pejabat Disprindag.
Pernyataan tersebut justru memantik kemarahan para pedagang yang merasa diperas dan dimanfaatkan.
“Kami ini bukan sapi perah! Pemerintah baru ingat kami saat butuh pemasukan daerah. Kalau lagi susah, siapa yang peduli?” ucap Indra, pedagang nasi uduk, dengan nada geram.
PLT Kepala Dispol PP Cilegon, Tunggul Fernando Siman Juntak, menambahkan bahwa penertiban dilakukan demi penataan kota dan ketertiban umum. Ia menyebut relokasi hanya dilakukan pada pagi hingga sore hari untuk sementara, sambil menunggu kesiapan lokasi baru.
Namun bagi para pedagang kecil, alasan “penataan kota” seringkali hanya kamuflase untuk menggusur tanpa solusi.
“Kami ini warga Cilegon juga. Kenapa kami selalu dipinggirkan atas nama estetika kota? Yang penting buat kami itu perut anak-anak bisa kenyang. Jangan cuma mikir trotoar bersih tapi rakyatnya kelaparan!” kata Siti, ibu tiga anak, dengan suara lirih. (Rds)