CILEGON | BIDIKBANTEN.COM – Pemerintah Kota Cilegon menyalurkan dana hibah kepada 88 lembaga keagamaan yang tersebar di berbagai kelurahan. Tapi alih-alih menyambut dengan pujian, warga justru menagih transparansi dan laporan penggunaan dana tersebut. Pasalnya, setiap tahun anggaran semacam ini digelontorkan, tapi publik nyaris tak pernah melihat wujud pelaporannya.
“Siapa aja yang dapet? Berapa nominalnya? Laporannya ditaruh di mana? Jangan-jangan cuma diketahui oleh mereka yang dekat dengan lingkar kekuasaan,” sindir Wawan, warga Jombang, yang juga pengurus RT.
Nada serupa datang dari Ida, ibu rumah tangga yang aktif di kegiatan majelis taklim. Ia merasa khawatir jika dana hibah atas nama agama ini justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu. “Kalau beneran buat kegiatan keagamaan sih bagus. Tapi harus jelas dong, jangan kayak uang turun terus gak ada jejaknya,” ujarnya.
Sebagian warga lain juga menyayangkan tidak adanya sistem digital terbuka yang menampilkan penerima hibah, nominal, hingga laporan kegiatan. “Masa zaman serba digital gini, Pemkot gak punya dashboard khusus dana hibah? Padahal ini pakai uang rakyat,” kritik Udin, pemuda dari Ciwedus.
Warga berharap ke depan, setiap penyaluran dana publik bisa dipantau bersama. Apalagi dana hibah keagamaan bukan jumlah kecil dan sering kali rentan digunakan untuk kepentingan politik atau pencitraan.
Sementara itu, pihak Pemkot melalui acara pembinaan yang digelar Rabu (11/6) menyampaikan imbauan agar pengelolaan dana hibah dilakukan secara tertib dan akuntabel. Sekda Kota Cilegon, Maman Mauludin, disebut mengingatkan pentingnya transparansi dalam penggunaan dana publik. Hal senada disampaikan oleh Kepala Bagian Kesra, yang menyebut ada rencana monitoring dan evaluasi berkala terhadap para penerima hibah.
Namun bagi masyarakat, yang paling penting bukan sekadar imbauan seremonial, melainkan bukti keterbukaan informasi. Selama belum ada laporan yang bisa diakses publik secara jelas dan lengkap, kepercayaan warga terhadap program hibah semacam ini akan terus dipertanyakan.
“Jangan jadikan kegiatan keagamaan sebagai tameng untuk lolos dari kontrol publik. Justru karena ini atas nama agama, harus lebih jujur dan terbuka,” tegas Heri, warga pemuda dari Pabean. (Rds-02)