CILEGON | BIDIKBANTEN.COM – Sistem pengelolaan dana hibah di Kota Cilegon kembali jadi sorotan. Meski telah menerapkan E-Hibah Bansos Mandiri sebagai sistem berbasis digital untuk menunjang transparansi, sejumlah pihak menilai praktik di lapangan masih menyisakan tanda tanya besar.
Contohnya, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Cilegon tercatat menerima dana hibah sebesar Rp700 juta pada tahun 2024. Namun, alih-alih menjadi catatan keberhasilan, kini dana tersebut justru tengah menjadi objek penyelidikan oleh Kejaksaan Negeri Cilegon atas dugaan penyimpangan.
“Full data dan full baket sedang dilakukan terkait dugaan penyimpangan dana hibah di Baznas Kota Cilegon,” ujar pihak Kejari dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Kondisi ini memantik reaksi dari masyarakat. Seorang warga Kelurahan Jombang, Samsul Ma’arif (43), mengatakan, “Kami sering dengar ada hibah ratusan juta, tapi masjid kami cuma dapat sepuluh juta tiap tahun. Itu pun harus ajukan proposal berulang-ulang.”
Isu serupa juga muncul dari pemberian hibah kepada lembaga lain, seperti MUI Cilegon, yang diketahui menerima Rp500 juta dari APBD tahun 2020. Keputusan ini sempat menjadi perbincangan, mengingat figur pimpinan sebelumnya dari lembaga tersebut pernah terlibat skandal korupsi.
Sementara itu, akses informasi mengenai siapa penerima dana hibah, besaran anggaran, hingga indikator penilaian, belum sepenuhnya terbuka untuk umum. Hal ini membuat publik bertanya-tanya tentang efektivitas dari sistem digital E-Hibah yang digadang-gadang transparan.
“Kalau masyarakat mau tahu siapa yang dapat hibah, harus buka website yang informasinya setengah terbuka. Seolah-olah rahasia negara saja,” keluh Nina Herlina (36), warga Ciwandan, yang pernah mencoba mencari tahu data penerima hibah untuk kelompok majelis taklimnya.
Kondisi ini mengingatkan pada gugatan hukum yang diajukan oleh warga bernama Ahmad Holid pada Maret 2020 ke Pengadilan Negeri Serang, yang mempertanyakan penyaluran dana hibah dan bansos selama tiga tahun berturut-turut (2018–2020).
Salah satu pernyataan yang tercantum dalam gugatan menyebutkan bahwa pencairan dana hibah dan bansos bisa menimbulkan konflik kepentingan politik, terutama menjelang Pilkada.
Warga lainnya, Rohim (50), pengurus madrasah swasta di daerah Pabean, mengaku kecewa. “Kami dapat Rp5 juta setahun mulai 2026, padahal operasional bulanan saja lebih dari itu. Kenapa ada lembaga lain bisa sampai ratusan juta? Di mana keadilannya?” ujarnya.
Minimnya evaluasi publik dan ketidakjelasan output program juga turut menjadi perhatian. Banyak masyarakat merasa belum pernah merasakan manfaat nyata dari kucuran dana hibah pemerintah.
“Setiap tahun ada pengumuman hibah miliaran, tapi kehidupan warga masih begitu-begitu aja. Jalan rusak, sekolah minta sumbangan, bantuan sosial juga susah diakses,” tambah Lilis Nuraini (41), ibu rumah tangga di Grogol.
Isu nepotisme dan kedekatan politik dalam penyaluran hibah juga menjadi gunjingan di warung-warung kopi. Meski belum tentu melanggar hukum, kesan pilih kasih dalam distribusi anggaran bisa merusak kepercayaan masyarakat.
DPRD Kota Cilegon, sebagai lembaga pengawasan anggaran, dinilai perlu lebih aktif turun tangan memastikan dana hibah benar-benar disalurkan secara proporsional, akuntabel, dan adil.
Kesimpulannya, dana hibah yang dikelola pemerintah semestinya menjadi jembatan kesejahteraan, bukan sumber polemik. Tanpa transparansi dan evaluasi menyeluruh, publik akan terus bertanya: untuk siapa sebenarnya uang negara ini digelontorkan?
(Rds-02)
Disclaimer:
Artikel ini disusun berdasarkan data dan informasi yang telah dipublikasikan oleh sumber resmi maupun dokumen publik. Seluruh isi disajikan dalam semangat kontrol sosial dan tidak dimaksudkan untuk menghakimi atau menuduh pihak tertentu. Redaksi BIDIKBANTEN.COM menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan kebebasan informasi.