Kramatwatu panas! Ratusan warga mendadak tumpah ruah ke depan kantor Perhutani di Desa Pejaten, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, Rabu 30 April 2025. Mereka tak datang untuk piknik, tapi untuk protes keras. Kantor Perhutani jadi sasaran kemarahan—tembok dicoret-coret penuh protes, suara warga membahana, menuntut satu hal: hentikan pembabatan hutan di Gunung Pinang!
Aksi ini dipicu oleh aktivitas pembukaan lahan yang diduga dilakukan oleh pihak pengembang. Kawasan Gunung Pinang yang dikenal sebagai hutan lindung mulai ‘botak’, dan warga tak tinggal diam. Ketua Karang Taruna Kecamatan Kramatwatu, Sumarga, menyebut aksi ini adalah respons spontan masyarakat yang marah karena keresahannya diabaikan. “Sudah kami sampaikan sejak Sabtu lalu, tapi tak digubris. Sekarang rakyat bicara dengan aksi!” tegasnya.
Saat audiensi di lokasi, pihak pengembang berdalih sudah mengantongi izin. Tapi bagi warga, itu bukan soal legal atau tidak—ini soal ekosistem dan masa depan! Mereka menolak segala bentuk pengembangan wisata yang bisa menghancurkan keseimbangan alam Gunung Pinang. Mereka khawatir, bila dibiarkan, akan muncul bencana seperti longsor dan banjir.
Yang makin bikin emosi, kepala desa pun mengaku tak tahu-menahu soal izin resmi dari proyek tersebut. “Ini proyek siluman atau proyek diam-diam?” celetuk seorang warga dengan nada sinis.
Warga mendesak agar seluruh aktivitas pembukaan lahan dihentikan segera. Mereka juga menuntut pengembang bertanggung jawab melakukan reboisasi atas pohon-pohon yang telah ditebang, termasuk pohon jati tua yang sudah puluhan tahun tumbuh di sana. Gunung Pinang punya status hutan lindung—bahkan kayu dari pohon tumbang saja tak boleh dibawa turun, apalagi sengaja ditebang!
Hari ini, rakyat bersuara. Gunung Pinang bukan milik segelintir orang. Ia milik alam, milik generasi, milik masa depan. Dan warga Kramatwatu siap menjaganya sampai titik akar terakhir!
(Yus)