Cilegon – Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Cilegon tengah diguncang prahara internal yang disinyalir melibatkan intervensi dari pihak luar yang tidak berwenang. Kondisi ini memantik keprihatinan tajam dari sejumlah tokoh internal FKUB yang selama ini dikenal sebagai penjaga kerukunan lintas agama di wilayah Banten tersebut.
Agus Surahmat, mantan Sekretaris FKUB Cilegon periode 2018–2024, dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten, menyampaikan keberatan serius atas proses penyusunan kepengurusan FKUB Cilegon periode 2025–2030. Ia menyebut, keputusan untuk merombak struktur organisasi dilakukan di luar mekanisme yang disepakati secara musyawarah dalam pleno resmi pengurus pada 26 Desember 2024.
“Dalam rapat pleno, seluruh pengurus sepakat menunjuk kembali KH Dr. Abdul Karim sebagai ketua, dan mempertahankan susunan pengurus yang lama demi menjaga soliditas dan kesinambungan kerja. Namun fakta di lapangan justru menunjukkan adanya intervensi non-pemerintah yang diduga kuat berupaya mengarahkan komposisi pengurus baru sesuai kepentingan tertentu,” ungkap Agus, Senin (14/4/2025).
Yang lebih memprihatinkan, lanjutnya, dua pengurus lama yaitu H. Ir. Fakih Usman, SE (Wakil Ketua) dan dirinya sendiri sebagai Sekretaris, secara sepihak tidak lagi dilibatkan dalam susunan kepengurusan baru—sebuah langkah yang bertentangan dengan hasil rapat resmi dan semangat kebersamaan yang menjadi ruh utama FKUB.
“FKUB adalah forum independen yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi pemerintah, bukan alat kekuasaan atau kepentingan kelompok manapun. Ketika intervensi dari luar merusak proses internal, ini bukan hanya bentuk pelanggaran etika, tapi juga ancaman serius bagi kerukunan umat beragama,” tegasnya.
Agus juga menyinggung bahwa FKUB selama ini berhasil menjadi garda depan dalam meredam berbagai isu sensitif di Kota Cilegon, mulai dari polemik rumah ibadat hingga persoalan pemakaman lintas agama. Semua itu, menurutnya, terwujud berkat kerja kolektif dan kepercayaan lintas tokoh agama yang terbangun selama bertahun-tahun.
“Dengan dikesampingkannya prinsip-prinsip musyawarah dan keterbukaan, FKUB justru berpotensi berubah menjadi alat legitimasi kelompok tertentu yang berlindung di balik nama kerukunan. Ini preseden buruk yang tak boleh dibiarkan,” tambahnya.
Surat pengaduan ini juga dilengkapi dengan rujukan hukum yang menguatkan bahwa FKUB merupakan mitra pemerintah dengan fungsi konsultatif, bukan subordinat kekuasaan. Ia berharap Kepala Kanwil Kemenag Banten segera turun tangan melakukan evaluasi dan penertiban, demi menjaga marwah FKUB dan harmoni sosial yang selama ini telah dijaga dengan susah payah.
Dengan situasi yang berkembang ini, mata publik kini tertuju pada Kementerian Agama dan Pemerintah Kota Cilegon. Mampukah mereka menunjukkan komitmen terhadap netralitas FKUB dan nilai-nilai luhur toleransi? Ataukah justru membiarkan forum pemersatu ini terseret ke dalam pusaran politik kepentingan yang sempit?
(*/red)