Syeh Abuya KH. Abdul Fakkar Al Mathlubi, lahir sekitar tahun 1841 di kampung kecil Ciwandan, Cilegon, Banten, adalah sosok ulama dan guru yang dikenal karena keteguhan prinsip dan dedikasinya pada ilmu agama. Terlahir dari pasangan Syeh Abuya KH. Abdurrohman dan Hj. Nyi Aniyah, beliau dibesarkan dalam lingkungan yang mendukung pendidikan agama secara mendalam meskipun tidak mendapatkan pendidikan formal.
Sejak kecil, Syeh Abdul Fakkar telah dididik secara intensif oleh orang tuanya dan para guru di kampungnya. Setelah menamatkan pendidikan dasar di lingkungan lokal, beliau melanjutkan studi ke berbagai pondok pesantren di Banten. Keberaniannya dalam menuntut ilmu membawanya ke Mekkah Al Mukaromah, di mana ia belajar selama sembilan tahun di bawah bimbingan ulama-ulama terkemuka seperti Syeh Nawawi Al Jawi dan ulama-ulama dari Jazirah Arab lainnya.
Di Mekkah, Syeh Abdul Fakkar menerima gelar “Al Mathlubi” dari gurunya, sebagai penghargaan atas ketekunan dan dedikasinya. Kembali ke tanah air, beliau dikenal sebagai salah satu ulama paling dihormati di kalangan para pemimpin agama dan pejuang kemerdekaan. Bersama dengan ulama-ulama ternama seperti Syeh Abuya KH. Asnawi Caringin, Syeh Abdul Karim Tanara, dan Syeh KH. Wasyid Panglima Perang Geger Cilegon, beliau memainkan peran kunci dalam penyebaran ilmu dan perjuangan.
Walaupun beliau memiliki banyak kesempatan untuk meraih ketenaran duniawi, Syeh Abdul Fakkar memilih untuk tetap sederhana. Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, beliau berperan aktif dan bahkan menolak penghargaan “Jendral Penuh Bintang 4” yang ditawarkan oleh Presiden Sukarno. Beliau menyatakan bahwa penghargaan tersebut tidak sebanding dengan niat tulusnya berjuang demi kemerdekaan dan demi keridhaan Allah. Ini menunjukkan sikap tawadu dan ikhlasnya yang mendalam.
Syeh Abuya KH. Abdul Fakkar meninggal dunia di kampung halaman istrinya, dan dimakamkan di tengah-tengah pondok pesantren di Ciriu, Samangraya, Citangkil, Cilegon, Banten. Warisan beliau hidup melalui pendidikan pesantren kobong salaf dan masjid tua yang terus dikembangkan oleh anak cucunya. Sosoknya tetap menjadi teladan sebagai “Bapaknya Ulama” dan “Gurunya Para Guru”, serta sebagai ulama yang dikenal dan dihormati di langit.
Warisan dan kontribusi Syeh Abdul Fakkar dalam ilmu agama dan perjuangan kemerdekaan Indonesia tetap dikenang dengan penuh rasa hormat.
(Kutipan tulisan dari H Muskamal)
Wallahu a’lam bissawab.