Kasus mega korupsi Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) menjadi sorotan publik. Salah satunya, terkait majelis hakim yang menyidangkan perkara ini karena sama dengan majelis hakim yang menyidangkan perkara Jiwasraya.
“Majelis hakim yang menyidangkan kasus Asabri jangan sama dong dengan yang menyidangkan kasus Jiwasraya. Harus kocok ulang majelis hakimnya. Supaya tidak terkesan ada pesanan,” kata Aktivis Petisi 28, Haris Rusly Moti, Rabu (29/9/2021).
Aktivis yang juga eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 UGM Yogyakarta ini menegaskan, dalam sidang kasus megakorupsi Asabri, ada dugaan pesanan (mafia hukum) kalau majelis hakimnya di-setting sama dengan Jiwasraya. “Itu ada dugaan mafia hukum untuk mengarahkan sesuai pesanan. Enggak boleh seperti itu,” tandasnya.
Saat ditanya, apakah hakim dibenarkan tendensius dan arogan serta melakukan intimidasi kepada terdakwa seperti ke terdakwa Benny Tjokro? Haris menjawab sangat tidak boleh. “Majelis hakim harus fair. Jangan mengintimadasi. Biarkan terdakwa mengungkap fakta di persidangan,” cetusnya.
Haris pun meminta agar aparat penegak hukum mengungkap aktor intelektual di belakang kasus korupsi Asabri ini. “Aktor intelektualnya harus diungkap. Ini ada konspirasi pelaku. Hakim dan jaksa harus bongkar itu semua dan jangan sampai main mata dalam mengungkap kasus ini,” pintanya.
Kata dia, mustahil untuk kasus kejahatan korupsi kelas kakap seperti ini tidak ada oknum pejabat. “Pasti ada oknum pejabat-pejabat yang terlibat. Ini kasus kakap puluhan triliun. Makanya, PPATK dibuka, dong ke mana saja aliran dana tersebut, harus dibongkar,” tegasnya.
Bahkan, ucap Haris, dalam pledoinya, Benny Tjokro mengatakan ada konspirasi untuk melindungi pihak-pihak tertentu yang justru lebih bertanggung jawab atas kerugian negara dalam korupsi Jiwasraya. “Sama saja Asabri juga seperti itu,” imbuhnya.
Selain Benny Tjokro, sejumlah aktor serta perusahaan sekuritas dan manager investasi telah jadi “sampah masyarakat”. “Mereka jadi terhukum perampokan dana Jiwasraya dan ASABRI.
Sebagaimana diketahui, kasus Asabri mencuat karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat kerugian uang negara di kasus Asabri dalam kurun waktu 2012-2019 ini sangat mencengangkan yaitu Rp 22,78 triliun.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dari skandal perusahaan plat merah (BUMN) lainnya Jiwasraya yang menelan kerugian negara sebesar Rp 16,70 triliun. Ada beberapa keanehan dalam kasus Asabri ini.
Di antaranya, BPK mengungkap kerugian negara Rp 22,78 triliun, sedangkan faktanya Asabri hanya memiliki aset sebesar Rp 13 triliun. Dari hal tersebut banyak muncul pertanyaan di publik. Misalnya, dari mana dana Rp 22,78 triliun itu dan ke mana aliran dana tersebut? Apakah kasus Asabri hanyalah skenario yang diciptakan elit politik? Mungkinkah kasus Asabri hanyalah dendam politik yang menumbalkan para terdakwa? Siapa aktor intelektual di balik kasus megakorupsi Asabri?
Menariknya, formasi majelis hakim yang menyidangkan kasus Asabri sama dengan kasus Jiwasraya (anggota majelis hakim Rosmina, Saiful Zuhri, Ali Mutharom, Mulyono Dwi Purwanto dan Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto).
Apakah ada indikasi Ketua Majelis Hakim Kasus Asabri Ignatius Eko Purwanto menerima “pesanan” Asabri? Lalu, ada kesan majelis hakim tendensius dan arogan kepada terdakwa dan tidak memberikan kesempatan kepada pihak terdakwa dan pengacara hukumnya untuk mengungkap fakta di persidangan.
Bahkan, terkesan ada intimidasi terhadap salah satu terdakwa Benny Tjokro agar tidak “bernyanyi” dan mengungkap fakta lebih jauh. Untuk diketahui, ada sembilan terdakwa dalam kasus Asabri ini.
Yaitu lima dari internal Asabri. Mereka adalah Mayjen (Purn.) Adam Rachmat Damiri dan Letjen (Purn.) Sonny Widjaja, keduanya merupakan mantan direktur utama Asabri.
Lalu, Bachtiar Effendi dan Hari Setianto. Keduanya merupakan mantan direktur investasi dan keuangan Asabri. Serta, Ilham W. Siregar (mantan kepala divisi investasi Asabri, meninggal sebelum sidang).
Kemudian, empat terdakwa dari eksternal Asabri (swasta) adalah Komisaris PT Hanson International: Benny Tjokrosaputro, Komisaris PT Trada Alam Minera: Heru Hidayat. Lalu, Direktur Utama PT Prima Jaringan: Lukman Purnomosidi dan Direktur Jakarta Emiten Investor Relation: Jimmy Sutopo.
Untuk Benny Tjokro maupun Heru Hidayat, keduanya merupakan tersangka dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya.