Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Silmy Karim melepas seluruh kepemilikan sahamnya di perusahaan yang dipimpinnya.
Dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia pada hari ini, Ahad, 21 Juni 2020, Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menyampaikan dirinya menjual saham berkode KRAS sebanyak 5.400.300 saham atau setara dengan 0,028 persen. “Jumlah saham yang dimiliki setelah transaksi menjadi hanya 0,” kata Silmy, seperti dikutip dari surat tertanggal 19 Juni 2020 itu.
Harga penjualan per lembar saham KRAS itu berbeda-beda, yakni Rp 278, Rp 280, Rp 282, dan Rp 284. Tanggal transaksi dilakukan pada 11 Juni 2020. Status kepemilikan saham adalah langsung.
Dalam surat bernomor 277/DU-LS/2020 berlogo Krakatau Steel di bagian atas yang ditujukan kepada Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan, disampaikan tujuan transaksi adalah keperluan pribadi.
Pada tanggal 11 Juni, saham KRAS ditutup di level Rp 284. Adapun, pada penutupan perdagangan Jumat kemarin atau 19 Juni 2020, saham KRAS meningkat 2,05 persen menjadi Rp 298. Sepekan terakhir, harga melonjak 6,43 persen, bahkan melambung 69,42 persen dalam sebulan ini.
Analis FAC Sekuritas Wisnu Prambudi Wibowo mengatakan sentimen perseroan mengambil andil yang sangat besar dalam pergerakan saham KRAS beberapa hari terakhir.
Wisnu berpendapat, pergerakan saham KRAS itu berasal dari sentimen individual yang mengamati perusahaan mendapat dana suntikan dari pemerintah. “Beberapa waktu lalu ada 12 BUMN yang disebutkan akan disuntik dana (oleh pemerintah),” ujarnya.
Kabar pemerintah akan memberikan dana talangan masing-masing Rp 3 triliun untuk KRAS dan Rp 8,5 triliun untuk emiten penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) direspons positif oleh pasar. Adapun Krakatau Steel menyatakan dana talangan modal kerja yang diberikan oleh pemerintah diharapkan dapat mendorong peran perseroan dalam memulihkan ekonomi nasional.
Sebelumnya, Silmy Karim mengatakan dukungan dana akan digunakan oleh perseroan untuk mendorong industri hilir dan industri pengguna baja tetap bergerak di tengah pandemi Covid-19. “Mekanisme pemberian dana talangan masih dibicarakan di tingkat Pemerintah, kami berharap mendapatkan mekanisme yang terbaik untuk dapat segera mendukung pemulihan ekonomi nasional,” katanya, Selasa, 2 Juni 2020.
Silmy menjelaskan, sejak April, tekanan dampak Covid-19 terhadap ekonomi mulai meningkat. Hal ini juga berdampak terhadap penurunan permintaan di industri baja hingga 50 persen. Kondisi ini diperkirakan akan berlanjut sampai akhir tahun.
Padahal, hingga Maret atau kuartal I/2020 perseroan telah berhasil mencatatkan kinerja positif. Perseroan dapat membukukan laba pertama kalinya dalam 8 tahun terakhir. “Menurunnya permintaan pasar mengakibatkan rendahnya utilisasi industri. Hal ini berdampak kepada tergerusnya modal kerja dari pelaku industri karena harus menanggung beban selama 3 bulan terakhir untuk mempertahankan pabrik tetap beroperasi,” katanya.
Dia menjelaskan keterbatasan modal kerja juga menyulitkan pelaku industri membeli bahan baku dan membiayai operasional pabrik. Jika kondisi ini dibiarkan, lanjutnya, dikhawatirkan pelaku industri hilir dan pengguna baja akan menutup pabrik secara permanen.
“Keadaan ini sangat beresiko bagi perekonomian nasional karena untuk menghidupkan kembali sektor industri ini memerlukan waktu dan biaya yang besar dan effort yang tidak sedikit,” kata Silmy seperti dikutip Tempo.
Saat itu Silmy juga menjelaskan bahwa industri baja merupakan mother of industry yang memiliki multiplier effect sangat besar, khususnya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, pengurangan ketergantungan terhadap impor, dan peningkatan daya saing industri nasional.