UU KPK Resmi di Berlakulan, OTT Dinilai Tak Bisa Lagi Digelar

4815

pakarhu-480x360

Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) hasil revisi, telah sah berlaku terhitung sejak hari ini. Seiring UU KPK berlaku, kekhawatiran pun menyeruak atas sejumlah hal yang selama ini ditakutkan bisa memangkas kewenangan komisi antirasuah.

Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah ihwal kewenangan KPK melakukan operasi tangkap tangan.

“Dengan UU yang baru ini aktivitas OTT tidak ada lagi. Saya yakin akan berkembang subur lagi korupsi di negeri ini,” kata pengamat hukum tata negara Juanda.

Juanda mengatakan, OTT tak bisa dilakukan karena dipersulit oleh aturan. Misalnya dengan syarat mendapat izin penyadapan dari Dewan Pengawas seperti yang diatur dalam UU KPK.

Apalagi saat ini Dewan Pengawas KPK belum terbentuk.

Juanda mendesak Presiden Jokowi segera mengeluarkan Perppu KPK untuk menganulir UU KPK hasil revisi. Jika tidak, dia yakin korupsi akan kembali merajalela di Indonesia.

Sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo juga sempat menyindir Plt Menteri Hukum dan HAM Tjahjo Kumolo terkait hal ini.

Dalam acara Peluncuran Permendagri Nomor 70 Tahun 2019, Jakarta, Selasa (15/10), Agus mengingatkan Tjahjo bahwa bila 17 Oktober Perppu KPK belum keluar, maka akan berdampak pada jajaran komisioner baru KPK.

Menurutnya, KPK terancam tak bisa lagi melakukan OTT karena pimpinan KPK berdasarkan UU KPK yang baru, tak lagi berstatus sebagai penyidik, penuntut.

Pernyataan Agus itu sebenarnya sudah dibantah politisi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu. Bekas anggota Komisi III DPR yang terlibat dalam penyusunan revisi UU KPK mengklaim KPK tetap bisa menggelar operasi tangkap tangan di bawah rezim UU KPK terbaru.”Karena undang-undang baru itu jelas, bukan penyidik, bukan penuntut. Jadi bukan penegak hukum lagi, dengan begitu kan ya mungkin ndak ada OTT lagi,” kata Agus di Hotel Grand Paragon, Jakarta, Selasa (15/10).

Kekhawatiran Agus memang beralasan. Sebab dalam UU KPK hasil revisi, tak ada lagi ketentuan pasal yang menyatakan status pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum. Dalam UU KPK yang lama, status itu ditegaskan Pasal 21 ayat (4).

Kemudian, UU KPK hasil revisi juga tidak menerangkan status Dewan Pengawas.

Dalam UU KPK hasil revisi Dewan Pengawas disebut bertugas memberikan izin atau tidak terhadap praktik penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Hal itu diatur dalam Pasal 37B Ayat (1b). Namun tidak disebutkan status Dewan Pengawas. Padahal, tugas-tugas tersebut hanya bisa dilakukan oleh aparat hukum.

Kata dia, KPK berdasarkan UU baru tetap punya kewenangan melakukan pencegahan, penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, serta melakukan penyadapan. Operasi tangkap tangan, lanjut Masinton, bisa dilakukan berbekal hasil penyadapan.

“Agus tidak paham, OTT tetap diselenggarakan, karena ketidakpahaman beliau tentang UU yang sudah direvisi ini,” kata Masinton kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/10).

“Jadi KPK tetap bisa melakukan OTT karena KPK berdasarkan bekal penyadapan,” imbuh Masinton.

Dia menyatakan yang berbeda dalam UU KPK hasil revisi hanya mekanisme penyadapan. Bahwa, KPK harus meminta izin pada Dewan Pengawas lebih dahulu sebelum melakukannya.

“Penyadapan masih bisa dilakukan melalui mekanisme pengawasan melalui Dewan Pengawas, kalau Dewan Pengawas belum terbentuk maka melalui izin komisioner,” kata Masinton. (Gun)