Bidik, Jakarta – Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno membantah pernyataan Komisaris Independen Roy Maningkas terkait pengoperasian pabrik “blast furnace” (pengolahan biji besi menjadi logam besi panas dan produk hilir) milik PT Kratakau Steel (Persero) Tbk.
“Kami tidak pernah menginstruksikan pabrik (blast furnace) dioperasikan hanya 2 bulan, seperti disebutkan Roy Maningkas,” kata Harry, di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (23/7).
Harry menanggapi pernyataan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas yang menyebutkan akan mengundurkan diri dari Krakatau Steel karena alasan dalam proyek “blast furnice” banyak hal yang tidak berdasar dan berpotensi merugikan negara.
Menyoal “dissenting opinion” (perbedaan pendapat) tentang proyek “blast furnace” yang telah disampaikan oleh Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas, Harry mengatakan telah membahasnya bersama Dewan Komisaris Krakatau Steel, termasuk Roy Maningkas sebagai anggota komisaris.
Kendati demikian, Kementerian BUMN akan memproses surat pengunduran diri Roy Maningkas yang telah disampaikan pada 11 Juli 2019. Pengunduran diri baru efektif setelah disetujui oleh pemegang saham melalui RUPSLB.
Sebelumnya, Roy Maningkas saat memberikan keterangan pers di Kementerian BUMN, menyatakan, pabrik blast furnace dipaksa beroperasi hanya untuk dua bulan, dan selanjutnya akan dimatikan dengan alasan jangan sampai menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sesungguhnya, ujar Roy, Dewan Komisaris sudah meminta berkali-kali agar dilakukan audit bisnis maupun audit teknologi, namun tidak pernah dilakukan. “Tidak ada kepastian siapa yang bertanggung jawab terhadap proyek ini, baik teknis maupun kerugian keuangan,” katanya.
Ia menambahkan potensi kerugian karena proyek dipaksakan yaitu harga pokok produksi (HPP) slab baja yang dihasilkan dari proyek ini lebih mahal 82 dolar AS per ton jika dibandingkan harga pasar.
“Jika produksi 1,1 juta ton per tahun, maka potensi kerugian Krakatau Steel bisa mencapai sekitar Rp1,3 triliun per tahun,” tegas Roy. (Red)