Edy Rahmayadi mundur dari Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Keputusannya itu diucapkan pada Kongres Tahunan PSSI di Hotel Sofitel, Nusa Dua, Badung, Bali, Minggu (20/1/2019) pagi.
Dalam pidato kemundurannya itu, Edy mengakui dirinya telah gagal memimpin federasi sepak bola di Indonesia itu.
Di antara kegagalannya, Edy menyebut dia tak berhasil mencapai target membawa tim nasional Indonesia berprestasi di level internasional. Di eranya, tim Garuda tersingkir prematur pada fase grup Piala AFF 2018. Itu terjadi karena PSSI gagal memperpanjang kontrak Pelatih Luis Milla dan menunjuk Bima Sakti yang belum punya pengalaman sebagai penggantinya.
Selain itu, PSSI juga gagal membawa timnas U-23 memenuhi target mencapai semifinal Asian Games 2018 setelah tersingkir di 16 besar.
“Saya mohon maaf. Sampai tahun kedua saya memimpin, saya tak bisa mewujudkan semua ini. Saya mundur bukan saya tak bertanggung jawab. Saya bertanggung jawab,” ujar Edy yang dilantik sebagai ketum PSSI pada 10 November November 2016.
Selain itu, di era kepemimpinannya juga mencuat berbagai macam kasus. Yang paling menohok adalah kasus pengaturan skor yang membuat beberapa pejabat PSSI ditahan Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Bola.
Enam orang tersangka yang ditahan tersebut adalah Ketua Asprov PSSI Dwi Irianto alias Mbah Putih, Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI Johar Lin Eng, mantan anggota komisi wasit Priyanto dan anaknya Anik Yuni Artika Sari, wasit Nurul Safarid dan ML staf direktur penugasan wasit PSSI. Kemudian empat tersangka yang belum dilakukan penahanan di antaranya CH, DS, P, dan MR.
“Ada juga yang menyalahi hukum pengaturan skor dan sebagainya. Saya tidak tahu. Selama 32 tahun saya pegang organisasi, PSSI ini yang paling berat,” ujar Edy yang juga menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara itu.