Ketika Seorang Wali Menutup Sumber Mata Air Dengan Alqur’an

1953

Kolam batu Qur'an

Asal Usul, – Di kaki Gunung Karang, Desa Kadubumbang, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang terdapat sebuah destinasi wisata religi “Batu Quran”. Tempat ini diyakini keramat dan sarat mitologi.

Berdasarkan cerita masyarakat yang berkembang, lokasi tersebut menjadi tempat pijakan Syeikh Mansyur ketika hendak pergi ke Mekkah.

Ulama Banten itu tak perlu susah payah menaiki kapal terlebih dahulu di pelabuhan. Cukup dengan mendatangi tempat tersebut sembari baca basamalah, dia langsung bisa sampai di Kota Suci umat Islam itu.

Demikian pula ketika pulang dari sana. Dia muncul melalui sumber mata air yang ada di situ. Sehingga banyak orang juga meyakini bahwa air tersebut adalah kucuran zam-zam.

Suatu ketika, Syeikh Mansyur bermunajat dekat air yang mengalir terus menerus itu. Dia berdoa kepada Allah sembari melakukan salat dua rakaat.

Setelah selesai bermunajat, dia mendapat petunjuk supaya menutup sumber air itu sehingga tak mengalir terus menerus. Untuk menutupnya, disarankan menggunakan Al-Quran.

Ketika Al-Quran itu disumbatkan, tiba-tiba berubah menjadi batu. Kemudian dia menuliskan ayat Al-Quran di batu tersebut dengan telunjuk jarinya. Seperti yang diyakini masyarakat, tulisan itu bersifat ghaib.

Itu tak akan bisa dilihat secara kasat mata, sekalipun menggunakan alat tercanggih. Cara melihatnya harus menggunakan mata batin. Orang yang bisa melihatnya ‘pun terbatas.

Syeikh Maulana Mansyur adalah ulama penyebar Islam di zaman dulu. Lokasi dakwahnya adalah Banten. Tepatnya, Pandeglang.

Dia merupakan putra Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa, Sultan Banten ke-6. Ketika ayahnya berhenti, posisi kesultanan jatuh ke tangannya. Sejak itu dia dikenal sebagai Sultan Haji.

Seletah dua tahun menjalankan tugas kepemimpinan itu, dia pergi ke Irak. Tujuannya, untuk mendirikan Negara Banten di sana.

Untuk sementara, Kesultanan Banten dipegang oleh putranya, Pangeran Adipati Ishaq atay Sultan Abdul Fadhli. Namun ternyata, Pangeran Ishaq terbujuk oleh orang lain untuk mengambil ahli kekuasaan ayahnya.

Kabar tersebut didengar oleh Sultan Agung Abdul Fatah. Dia tak setuju pergantian sultan yang dilakukan oleh Pangeran Ishaq. Sebab, Sultan Mansyur masih hidup.

Oleh karena itu, pergantian kepemimpinan ditangguhnya hingga Sultan Mansyur datang dari Irak. Namun di tengah penantian itu, tiba-tiba ada orang yang mengaku-ngaku sebagai Syeikh Mansur.

Kehadiran Syeikh Mansur palsu ini berhasil memicu kegaduhan di Banten. Kekacaun tersebut baru terselesaikan ketika Syeikh Mansur asli datang.

Kedatangnya menjadi pelita di tengah kegelapan. Masyarakat bisa kembali tenang di bawah kepemimpinannya.

Dari itu tak heran kalau sampai sekarang namanya sangat dihormati. Makamnya yang berada di Desa Cikadeun, Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang tak pernah sepi dari peziarah. (Redaksi/BB)