Jakarta, (Bidik Banten) – Serbuan pupuk impor akhirnya menekan industri dalam negeri. Data BPS menunjukkan volume impor urea melonjak 555,85% dari 95,43 juta kilogram pada 2015 menjadi 625,90 juta kilogram pada 2016.
Perbedaan biaya produksi membuat pupuk produksi dalam negeri kesulitan bersaing di pasar urea nonsubsidi. Salah satu pangkal masalahnya, harga gas untuk industri dalam negeri masih terbilang tinggi. Ujungnya, harga jual tidak kompetitif.
Anggota Komisi VII DPR yang membidangi sektor energi dari Fraksi Golongan Karya, Dito Ganinduto meminta pemerintah untuk memperhatikan betul industri pupuk nasional agar bisa lebih kompetitif. Salah satu caranya, tentu saja menekan harga jual gas ke industri.
“Kita memang punya gas, tapi tidak efisien, salah satunya karena harga jual gas ke industri mahal. Pupuk dan petrokimia itu bahan baku utamanya pakai gas. Harusnya, harganya maksimum industri USD3 million British thermal unit (MMBtu), baru reasonable dan bisa bersaing dengan pupuk impor,” tandas Gito, kepada media.
Sudah rahasia umum, gas memang menjadi bahan utama produksi pupuk dan industri petrokimia. Merujuk data Kementerian Perindustrian, industri pupuk memiliki komposisi harga gas dalam biaya produksi sebesar 70%, industri petrokimia sebesar 70%, industri pulp dan kertas sebesar 8% hingga 32%, industri baja dan produk metal lain sebesar 70%, industri keramik sebesar 20%, industri kaca dan botol sebesar 25%.
Dito menambahkan, beberapa waktu lalu, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM, pernah menjanjikan akan menekan harga jual gas ke industri di bawah USD6 per MMbtu, hanya saja, sampai sekarang, belum jelas di angka berapa harga gas akan diberikan untuk industri pupuk dalam negeri. Bahkan, industri, masih membeli gas di kisaran USD6 per MMbtu.
Contoh, merujuk data Kementerian ESDM, PT Pupuk Iskandar Muda membeli gas US$6 per MMBtu. Lalu, PT Petrokimia Gresik yang mendapat suplai gas dari Kangean Energy Indonesia Limited sebesar 65 MMscfd  merogoh US$6 per MMBtu untuk pembelian gas.
“Ini harus segera diperjelas. Karena kalau namanya pupuk dan petrokimia, harusnya maksimum USD3 per MMbtu, baru industri dalam negeri bisa bersaing. Di luar negeri, industri pupuk dan petrokimia itu hanya beli gas USD2 per MMbtu . Kalau di sini industri harus beli USD 6 per MMbtu, ya berat bisa bisa tidak punya daya saing, kepastian harga untuk industri harus segera diberikan,” tegas Dito.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Harry Purnomo menambahkan, untuk mendukung daya saing industri pupuk nasional, jangan lagi komoditas atau barangnya disubsidi. Namun, para pengguna pupuk, termasuk juga petani dan indsutri, diberi berbagai dukungan permodalan dan kemudahan. Alhasil, daya beli akan selalu terjaga meski kemudian dari sisi harga jual pupuk, boleh jadi akan fluktuatif seiring naik turun harga gas.
“Tentu harga pupuk juga harus wajar. Di sisi lain, petaninya juga  dibantu pemasaran, permodalan, dibantu teknologi. Terbukti, jika barangnya yang disubsidi, ada banyak kasus pupuk subsidi pun diselewengkan. Sekarang faktanya karena barang subsidi itu terjadi penyelewenangan,” tegas Harry.
Yang tak kalah penting, agar industri pupuk petrokimia bisa berkembang, pemerintah harus juga membuat BUMN energi bisa kompak sehingga infrastrktur gas bisa didorong lebih cepat lagi sehingga jika pasokan lancar, diharapkan juga, harga bisa ikut ditekan. Untuk itu,infrastruktur gas, terutama di daerah yang diarahkan ke lokasi-lokasi industri harus diperbanyak. (KD)