Komisi VII DPR: “BBM Jangan Lagi Digunakan Untuk Pembangkit Listrik”

1745
dito-ganinduto-Jakarta, (Bidik Banten) – Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golongan Karya Dito Ganinduto menilai arahan presiden Jokowi agar pemakaian gas untuk pembangkit lebih diutamakan dinilai tepat. Namun, komitmen itu harus direalisasikan dengan membangun infrastruktur gas dan juga memilih energi pembangkit paling efisien.
Gas sebagai bahan bakar pembangkit dinilai tepat meski harga Marine Fuel Oil (MFO) atau diesel saat ini relatif rendah. Namun penggunaan bahan bakar minyak (BBM) tidak bisa lagi jadi patokan untuk dipakai sebagai energi primer pembangkit. Penggunaan BBM berimplikasi pada tingginya biaya pemeliharaan dan isu lingkungan.
Belum lagi, jika penggunaan diesel  dialihkan sepenuhnya ke gas, akan ada penghematan  mencapai Rp 70 triliun. Angka ini, merujuk pada dana pembelian BBM oleh PLN untuk kapasitas pembangkit total sebesar 7.000 Mega Watt (MW).  “Prioritas ke gas itu sudah tepat karena bisa menurunkan biaya pokok pembangkit, sehingga suplai energi menjadi murah,” ujar Dito, kepada media.
Hasil penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB)  dan Kementerian ESDM, penggunaan gas jauh lebih hemat dibandingkan BBM. Perbandingannya 1 liter solar/bensin sama dengan 240 gram gas. Ini artinya penggunan gas bisa 5 kali lebih hemat dibandingkan BBM.
“Sekarang eranya jangan pakai diesel lagi. Memang untuk gas, perlu investasi besar, Namun jika infrastruktur tersedia, kemudian gas terdistribusi, ada multiplier effect yang justru jauh lebih besar lagi. Otomatis di daerah itu industri akan berkembang. Itu sudah pasti,” tegas Dito.
Ia menjanjikan, akan terus mengawasi PLN untuk benar-benar komitmen menggunakan gas dan meminimalkan solar atau diesel untuk pembangkit. “Kami minta PLN lebih serius lagi dalam hal ini,” tegasnya.
Dito menuturkan, seringkali, alokasi gas untuk pembangkit juga terkendala birokrasi dan ego sesama BUMN. Misal, kasus PLN Tarakan yang menghasilkan 40 MW, pasokan gas tidak pernah terealisasi lantaran ego dan birokrasi yang berbelit. “Seringkali proses administrasi juga begitu lama. Baru setelah dikritik, sibuk rapat. Ini, kan, tidak lucu,” tegas Dito.
Untuk mempercepat elektrifikasi ada banyak cara dilakukan. Paling tepat, tentu saja dipilih yang paling efisien, mudah, dan tidak perlu izin berbelit. Mengingat wilayah Indonesia adalah laut, minimnya infrastruktur terminal gas di seluruh Indonesia tidak bisa diatasi dengan model pipanisasi darat. Model pembangunan infrastruktur gas yang dipandang efisien baru dilakukan di Jakarta, Jawa Barat, Lampung, dan pengoperasian mini terminal LNG terapung di Benoa-Bali.
Pengembangan mini terminal LNG terapung seperti di Benoa bisa menjadi model baru suplai bahan bakar pembangkit listrik karena pembangunannya lebih cepat cepat, murah, relatif tidak banyak perizinan apabila dibandingkan dengan membangun fasilitas di darat.
“Dengan menggunakan LNG memang harus diregasifikasi. Dari sisi biaya, mestinya masih lebih efisien. Kan tinggal dihitung saja, pembelian dengan PLN berapa, kemudian dibawa pakai kapal berapa,” jelas Dito.
Dito pun mengkritik pernyataan Menteri ESDM yang membandingkan biaya pengapalan LNG dari Bontang ke Tanjung Benoa sebesar US$ 1,9 per mmbtu (million metrix british thermal unit ), sementara biaya pengapalan LNG dari Tangguh di Papua ke Terminal Penerimaan dan Regasifikasi LNG Arun di Aceh hanya US$ 0,08 per mmbtu, padahal data PLN mencatat harga sebesar US$ 0,6 per mmbtu.
Menurut Dito, perbandingan itu mesti dilihat lebih luas. Misalnya, perbedaan harga itu bisa jadi berkaitan dengan kontrak pembelian gas dilakukan dan durasi berapa lama durasi kontrak.
“Makanya, kami minta ke Menteri ESDM data baru neraca gas. Bagaimana kebutuhannya, pasokannya, gas balance, infrastruktur yang dibangun sesuaikan kebutuhan dan pasokan. Jangan pula, tata kelola gas ini berubah, setiap ganti menteri ESDM, kemudian kebijakan berganti lagi,” kritik Dito.
#RILIS