Jakarta – Koalisi Melawan Limbah meluncurkan laporan yang menghitung kerugian ekonomi akibat pencemaran limbah berbahaya beracun (B3) industri di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Laporan tersebut merupakan hasil penelitian yang bekerjasama dengan tim peneliti dari Institute of Ecology Universitas Padjajaran.
Koalisi Melawan Limbah merupakan gabungan dari organisasi Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (Pawapeling), LBH Bandung, Walhi Jawa Barat dan Greenpeace. Mereka menyusun laporan yang berjudul ‘Konsekuensi Tersembunyi : Valuasi Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Industri’.
Organisasi-organisasi peduli lingkungan ini mengidentifikasi kerusakan lingkungan dan dampak yang diderita masyarakat akibat pembuangan limbah B3 industri di kawasan Rancaekek.
Ketua Pawapelling Adi M Yadi menuturkan bahwa sebelum adanya limbah B3 yang mencemari Rancaekek, wilayah itu merupakan salah satu lumbung padi. Namun upaya penolakan dan protes dari warga sejak tahun 1992 itu tidak mendapat respons positif.
“Komplainnya kalau awalnya hanya air yang menghitam dan berbau tapi sekarang bisa dirasakan secara langsung produktifitas panen menurun. Dari awalnya 1 hektar 8-10 ton sekarang hanya 1-2 ton. Kandungan padinya saja tidak bisa menjamin bebas dari racun industri,” kata Adi dalam jumpa pers Koalisi Melawan Limbah di Hotel Ibis, Jl Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (4/4/2016).
Koalisi Melawan Limbah mencatat total kerugian ekonomi akibat pencemaran di Rancaekek dengan pendekatan ‘Total Economic Valuation’ mencapai angka Rp 11,4 Triliun. Kerugian itu dihitung dari periode 2004-2015 dari multi sektor.
“Kerugian masyarakat itu meliputi sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehatan, kerugian karena kehilangan jasa air, penurunan kualitas udara dan kehilangan pendapatan mencapai lebih dari Rp 3,3 Triliun. Selain itu estimasi biaya remediasi 933,8 Hektar lahan tercemar setidaknya lebih dari Rp 8 triliun,” tandas Juru Kampanye Detox Greenpeace, Ahmad Ashov Birry di lokasi yang sama.
Sementara itu menurut pengacara LBH Bandung, Dhanur Santiko, bahwa sumber pencemaran berasal dari diterbitkannya IPLC (Izin Pembuangan Limbah Cair). Dhanur mengatakan adanya sistem IPLC melegalkan pengusaha untuk membuang limbah ke banyak sungai.
“Sistemnya melegalkan pengusaha untuk membuang limbah ke banyak sungai, dalam konteks ini sungai Cikijing. Kami saat ini sedang melakukan gugatan dan membatalkan IPLC,” terang Dhanur.
Dijelaskan Dhanur gugatan ke PTUN Bandung itu ditujukan kepada bupati kabupaten Sumedang yang mengeluarkan IPLC, serta sejumlah perusahaan.
“Kami mencoba menggugat IPLC-nya dulu agar pembuangannya dihentikan terlebih dahulu. Bisa dilihat dari pengaruhnya untuk lingkungan, IPAL-nya mereka punya hanya konsistensi dalam menjalankannya.” kata Dhanur.
“Pemkab Sumedang berwenang tapi tidak ada aspek pengawasan ketika IPLC dikeluarkan. IPLC dikeluarkan pemerintah daerah, menimbulkan kerugian dari masyarakat dan negara yang harus ditanggung. Hak konstitusional dari masyarakat, ini terkait dengan UUD pasal 28 yang mengatakan hak mendapat lingkungan yang sehat, hak warganegara, hak generasi yang akan lahir,” cetus Agus Rosyid yang tergabung dalam tim kuasa hukum.
Adanya gugatan terkait IPLC ini diharapkan mampu menghentikan pembuangan limbah meski hanya sementara. Koalisi Melawan Limbah mengaku terus berupaya untuk mengawasi pengelolaan limbah sesuai izin.
“Kami mendorong supaya ada satu mekanisme yang ketat supaya izin-izin pembuangan limbah bukan hanya formalitas saja. Termasuk analisis pemantauan lingkungan agar dilaksanakan secara ketat sehingga memberikan pengawasan kepada pelaku industri yang menjadi komitmen mereka yang tertuang dalam dokumen amdal. Kami juga mendorong pemerintah melakukan audit lingkungan terhadap seluruh pabrik-pabrik yang memiliki izin-izin pembuangan limbah cair,” tandas juru bicara Walhi Jawa Barat, Meki Paendong.
Kini warga yang terletak di kawasan Rancaekek yaitu di Desa Linggar, Sukamulya, Jelegong dan Bojong Lawa menanti proses hukum yang sedang berjalan. Harapan mereka tak muluk hanya pengawasan izin yang lebih ketat.
“Kalau warga mereka ingin sungai Cikijing pulih kembali karena sungai itu satu-satunya yang mengairi pertanian. Warga tidak melarang tapi limbah yang dialirkan harus diawasi secara ketat oleh pemerintah. Tentu kalau kerugian harus dipertanggungjawabkan penerima izin dan pemberi izin,” kata Adi mengutip pernyataan warga.(detiknews/Yomi)