Wahyu Nugroho, seorang konsultan IT Joko Widodo saat menjabat Wali Kota Solo membeberkan dugaan manipulasi data penerima Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS), sebuah program “embrio-nya” Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Karena manipulasi data penerima itu, disinyalir merugikan daerah sekira Rp12, 4 miliar lantaran saat memasukkan data, hanya menggukan program exel, tidak pakai program berbasis data base yang tak bisa ganda saat melakukan input data.
“Seharusnya tidak menggunakan sistem exel office, karena kalau pakai data base, nama sama nomor induk sama akan diambil salah satu saja,” ungkap Wahyu di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2014) malam.
Parahnya lagi, data yang input sebanyak 110 ribu siswa dengan anggaran yang dikeluarkan sekira Rp23 miliar, padahal, jumlah siswa di Solo hanya mencapai sekira 105 ribu. Dan bila berdasar data base yang dimiliki Wahyu, penerima bantuan pendidikan itu hanya mencapai 65 ribu siswa dengan aggaran sekira Rp10,6 miliar. Kejadian itu, terjadi di tahun anggaran 2010-2011, saat BPMKS baru diluncurkan.
“Kalau semua dikasih BPMKS, artinya kan semuanya miskin, dan itu enggak mungkin se Solo miskin semua,” kata Wahyu.
Karena itulah, Wahyu melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2012 saat Jokowi mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI. Karena tidak digubris, ia kembali menyambangi kantor Abraham Samad CS pada 27 Juni 2014 dengan melengkapi bukti dan membawa beberapa orang saksi.
“Ada beberapa CPNS yang jadi saksi. Mereka bantu saya untuk menginput dengan data base. Dua minggu saya kerjakan, jam 4 sore sampai jam 2 pagi akhirnya data jadi. tapi tidak diindahkan oleh Jokowi,” tandasnya.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai banyak permasalahan dalam laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta Tahun 2013. Termasuk Kartu Jakarta Pintar, dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP).
Anggota V BPK, Agung Firman Sampurna, menyampaikan Kartu Jakarta Pintar yang terindikasi salah dalam penyalurannya ke masyarakat. BPK menyebut ada 9.006 penerima ganda, yakni nama anak dan nama ibu kandung yang identik. “Kerugiannya senilai Rp13,34 miliar,” tukasnya.
Selain itu, permasalahan laporan keuangan Jakarta juga terjadi pada realisasi Biaya Operasional Pendidikan (BOP) untuk sekolah negeri senilai Rp1,57 triliun dicatat bukan berdasarkan bukti pertanggungjawaban dari sekolah melainkan sejumlah uang yang ditransfer ke sekolah dikurangi pengembalian dari sekolah.
“Hasil pengujian atas 11 sekolah menunjukkan terdapat pertanggungjawaban tidak senyatanya dengan indikasi kerugian senilai Rp8,29 miliar,” ungkap Agung.
Sumber: Okezone
Comments are closed.